Bab 46 - Rindu

18 4 2
                                    

“Kaysen?” Celosia menyapa. Keningnya tampak berkerut dan kedua tangannya terasa dingin, berjalinan di atas pangkuan. Hanya ada sambungan suara yang diizinkan di sana, dan itu membuat pikiran tak menyenangkan langsung hinggap begitu saja dalam benaknya.

Terdengar suara riuh ramai kemudian.

“Ya, Nona. Apa kabarnya Anda? Apakah Anda baik-baik saja?” Reiga berkata sedikit terburu-buru dan langsung bertanya cemas.

Celosia menengok kembali pergelangan tangannya untuk meyakinkan diri.

Apakah tadi ia salah melakukan panggilan? Mengapa Reiga yang saat ini ada di dalam sambungan teleponnya?

Tapi ... tidak. Ia tidak keliru.

Nama yang ia tuju jelas-jelas Kaysen dengan kode pemanggil yang tentu saja ia ingat. Bukan. Bukan karena Celosia menghafal angka-angka itu, tetapi karena Kaysen sering melakukan panggilan kepadanya, sehingga mau tak mau, perempuan itu sering melihat dan otaknya menyimpan informasi tersebut di luar kepala.

“Reiga? Itukah kau?” tanyanya memastikan. Hati Celosia serasa patah. Apakah terjadi sesuatu sehingga Kaysen tak bisa menjawab panggilannya sehingga diterima oleh Reiga?

Pertanyaan itu hampir terlontar dari mulut Celosia, tetapi, Reiga menjawab cepat kemudian, “Ya, Nona Celosia. Saya Reiga. Maafkan saya, saya mendapat perintah dari Tuan Kaysen untuk menerima sementara panggilan dari Anda kepada beliau. Saat ini, Tuan Kaysen masih berada di luar gedung pusat untuk menyelesaikan pekerjaannya.”

Reiga memutuskan untuk menjelaskan seperti yang diperintahkan oleh Kaysen kepadanya, bahwa dirinya sedang berada di luar jangkauan alat komunikasi dan menyerahkan sementara sambungan komunikasi itu kepadanya, jika Celosia bertanya.

Reiga masih mengingat bagaimana masamnya ekspresi Kaysen ketika mengucapkan kalimat itu. Meski hubungan Celosia dan Kaysen sudah begitu dekat bahkan hendak menuju langkah pernikahan, tetaplah Kaysen yang berperan dominan dalam hubungan mereka. Celosia seakan masih menganggapnya sebagai pahlawan penyelamat sehingga sudah sepantasnyalah perempuan itu membalas budi dengan berbuat baik kepadanya.

Senyap selama beberapa detik.

Reiga mengembuskan napas panjang dengan ekspresi kecut, membayangkan raut wajah Celosia yang saat ini pasti sedang muram. Bagaimana pun, tuan Kaysennya dan Celosia akan melangsungkan pernikahan sebentar lagi. Komunikasi yang terputus secara tiba-tiba tentu saja membuat perasaan perempuan itu menjadi tak menentu. Pikiran negatif pun mau tak mau datang tanpa tahu malu dan membebani kepercayaannya. 

Apa yang sedang perempuan itu pikirkan?

Reiga melipat bibirnya karena kesal menebak-nebak.

Terdengar Celosia berdeham kemudian, lalu embusan napasnya terdengar. “Ya, Reiga. Kaysen tentu saja memiliki banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku tak sepantasnya mengganggu,” ujarnya dengan senyum.

“Tidak, Nona. Anda tidak mengganggu. Apakah Anda membutuhkan bantuan?” tanyanya lagi karena Celosia belum sempat menjawab pertanyaannya. Meskipun, Reiga sungguh berharap bahwa tidak terjadi sesuatu pun pada calon istri tuannya itu.

“Tidak, Reiga. Aku hanya sekadar ingin menyapa,” jawabnya menyembunyikan nada suara sendu yang sedari tadi menyekat tenggorokannya. Perempuan itu menelan ludah berkali-kali dalam komunikasi dengan Reiga yang terasa canggung baginya itu.

Sungguh saat ini Celosia ingin sekali melihat wajah Kaysen dengan senyum kakunya. Mendengar nada suara serta sapaan hangat lelaki itu. Entah bagaimana keinginan asing itu tiba-tiba muncul dalam hatinya.

THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang