Bab 25 - Kekacauan

17 4 1
                                    

Celosia diantar menuju sebuah ruangan besar berwarna cokelat muda yang meskipun disebut sebagai satu-satunya ruangan yang bernuansa cerah, tetap saja ada kesan gelap yang mendominasi di ruangan itu. Alterio sedikit mendorong tubuh perempuan itu agar lekas memasuki ruangan, karena sedari tadi Celosia berjalan tersendat-sendat seolah sedang menilai situasi dan itu membuatnya tak suka.

"Masuklah. Ini ruanganmu. Nichlas akan datang kemari begitu ia menyelesaikan pekerjaannya," perintahnya tanpa memberi kesempatan pada gadis itu untuk sekadar menanggapi. Alterio menutup pintunya dengan keras, membuat Celosia berjingkat kaget.

Lelaki itu bersandar pada pintunya sejenak, mendongak, lalu mengacak rambutnya dengan kasar untuk mengusir rasa kesalnya yang tak berkesudahan. Setelahnya, ia berdiri tegap dengan mendengus, memandangi pintu itu sebentar lantas melangkah pergi.

Celosia berdiri kaku di depan pintu, masih dengan memeluk tubuh dan jantung berdebar dipenuhi rasa takut. Kedua matanya memindai sekeliling, menatap perabotan, kursi, dan segala hal yang tampak mewah di sana. Sebelah tangannya lalu mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri, bekas cekalan kasar Alterio selama beberapa menit tadi. Perempuan itu menghela napas.

Perlahan ia berjalan mendekat ke arah sofa, mendudukkan diri di sana. Ingatannya kemudian terbang ke apartemen tempat ia tinggal sebelumnya, di mana ia begitu menikmati hari-hari bebasnya berdua bersama robot Yo, diceramahi sepanjang hari dengan ocehan-ocehan lucunya yang selalu bisa membuatnya tertawa, menikmati sarapan dengan menu aneh yang belum pernah ia makan sebelumnya, membaca buku hingga tertidur dan jawaban-jawaban nyeleneh robot itu saat Celosia bertanya asal ketika ia sedang bosan, serta ... Kaysen.

Celosia mengamati pintu kaca yang sedikit terbuka di sisi kiri dari tempatnya duduk saat ini. Pintu itu mempunyai penghalang pandangan dari luar yang membuat warnanya terlihat abu-abu dari matanya. Tirainya berwarna khaki yang sepertinya berbahan ringan dan lembut karena tampak terayun-ayun berkat celah pintu yang mengintipkan angin segar dari luar ruangan.

Pemilik tempat ini seakan telah mempersiapkan ruangan ini dengan baik sebelum Celosia tiba. Pendingin ruangan memang dimatikan di ruangan itu, tetapi, udara terasa segar, membawa angin khas perbukitan dengan oksigen berlimpah bagi pernapasan, melegakan paru-paru gadis itu sejenak, setelah sebelumnya terasa kering dan terhimpit.

Perempuan itu menelan ludah, mengingat bagaimana ia duduk berdua bersama Kaysen di belakang pintu kaca tempatnya tinggal, berbicara tentang hal-hal yang tidak akan pernah ia lupakan, menyatakan cinta dan disuguhi ungkapan cinta oleh seorang Kaysen Finley.

Hatinya begitu hangat dengan perasaan bahagia yang penuh mengisi hati dan meluap-luap menjadi senyuman penuh cinta nan getir. Dan sekarang ... ia benar-benar rindu. Rindu yang terasa menyakitkan karena ia tak tahu akan bagaimana nasibnya kini. Dibawa pergi oleh orang tak dikenal di bawah ancaman.

Mau tak mau, air mata mengalir lagi ke pipinya. Celosia sesegukan dan tak menahan-nahan lagi kesedihan serta ketakutan di dalam dirinya. Suara tangisnya pecah, mengisi ruangan lengang itu dengan bahana kesedihan yang begitu menyayat hati. Ia ingin kembali, pulang ke tempat Kaysen lagi.

Oh, ia seolah ingin lari saja dari tempat itu secepat mungkin, tapi pengetahuan bahwa ia saat ini berada di tempat antah berantah yang jauh dari kota membuatnya kehabisan akal dan hanya bisa menunggu. Menunggu Kaysen mengulurkan tangannya untuk mengajaknya pulang.

Helikopter dengan kecepatan penuh tadi saja membutuhkan waktu tiga puluh menit jika Celosia tak salah mengira untuk tiba di tempat aneh ini, apalagi jika dirinya hanya menggunakan kekuatan kakinya untuk berlari, salah-salah, ia tersesat dan mati karena kehabisan tenaga.

Pemandangan Celosia yang menyedihkan dan sedang dikungkung tangis itu tak luput dari pengawasan Nichlas. Lelaki itu diam-diam telah berdiri di ambang pintu, menyaksikan gadis itu yang sedang menangis dengan tatapan tak terbaca. Lama ia berdiri di sana tanpa suara, membiarkan perempuan itu meluapkan emosi yang tengah menguasainya. Setelah Celosia tenang dan berhenti mengeluarkan air mata, barulah Nichlas berdeham yang membuat gadis itu terkejut dan duduk beringsut hingga pojok sofa.

THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang