Bab 28 - Menguatkan Hati

16 5 1
                                    

Mendung mengungkung bumi. Membuat suasana menjadi sedikit gelap dengan cercahan kilat dan suara guntur yang bertalu di kejauhan sana. Biasanya, orang-orang akan segera berteduh begitu melihat tanda-tanda hujan yang dikirim langit itu. Namun, situasi berbeda terjadi di sebuah bukit pemakaman yang terletak tak jauh dari pusat kota. Kerumunan manusia berjas hitam mengiringi peti mati yang kini telah terkubur, menyisakan tanah basah dengan batu nisan tegak tanpa nama.

Calisto berdiri dengan tatapan kosong di depan makam itu. Petir yang menyambar-nyambar semakin ganas di balik awan kelabu, serta rintik hujan yang mulai turun seolah mewakili hatinya saat ini. Gelap, penuh oleh kilatan kemarahan dan sakit hati yang mulai tercermin dalam ekspresi wajahnya yang keras nan memerah dengan kedua mata berkaca-kaca.

Ia memutuskan tak memberi keterangan apa pun pada nisan mendiang istrinya, karena nama dan segala hal menyangkut orang yang telah meninggalkannya tersebut tidak akan pernah ia ingat-ingat lagi. Calisto mengepalkan tangannya yang menggenggam erat sebuket bunga mawar hingga kusut pada pitanya.

Tetes-tetes air yang terasa tajam di kepala tak membuatnya lekas-lekas pergi dari tempatnya berdiri. Pengawal yang hendak mengaktifkan pelindung kepala otomatis ia tolak. Calisto mengangkat tangannya sebagai penolakan ketika mendengar suara beep di belakangnya. Lelaki pengawal yang sudah berniat mendekat pun urung, lantas turut membiarkan dirinya membasah oleh hujan, tak berani melontarkan protes sementara tuan mereka tengah khidmat dalam memberikan penghormatan terakhir bagi istrinya.

Calisto merasakan bajunya telah basah seluruhnya hingga permukaan kulitnya pun tersentuh basah. Matanya masih terpaku nyalang pada tanah merah di hadapannya dan ajaibnya, hawa dingin yang kini mengepung tubuhnya itu sedikit membantunya memadamkan kemarahan yang sedari tadi berkobar tak mau pergi.

Drea. Drea. Drea.

Hatinya diam-diam menasbihkan nama perempuan itu. Perempuan yang seakan lenyap begitu saja seperti asap yang musnah ditelan udara, tak pernah bisa ia genggam lagi, tak bisa ia raih, hanya sanggup ia timang-timang rindunya dalam kenangan. Hanya bisa ia tatap wajah palsunya yang menawan dalam angan-angan.

Mengingat itu semua, dadanya terasa perih. Mungkin saja ia tak berkewajiban untuk mengantar jasad wanita itu karena telah diputuskan oleh dewan keamanan bahwa Drea-nya ternyata adalah wanita penyusup yang diam-diam ingin menghancurkan dirinya dan adiknya dari dalam, tetapi bagaimana pun, ia merasa perlu melepas segala hal yang sempat terjalin antara mereka berdua. Menuntaskan perasaannya meskipun sia-sia.

Sia-sia.

Mata Calisto memejam rapat. Tak menyangka begitu pandainya Drea menyembunyikan identitas dan perasaannya yang terasa hampa kepadanya, tak memiliki kasih sayang sedikit pun. Bagaimanalah ia akan cepat melupakan perempuan itu ketika aroma tubuhnya masih tersisa lekat di tubuh Calisto seolah memeluk erat dirinya dan sungkan untuk pergi?

Perlahan Calisto berlutut, mengulurkan buket bunga yang kini juga telah turut basah, lalu meletakkannya di depan nisan. Lelaki itu mengembuskan napas berat, mengurai sesak di dada yang semoga saja bisa turut terlepas seiring bunga itu yang ia letakkan dari genggaman. Begitu juga cintanya, yang turut mati terpendam bersama tanah yang mengubur peti sang istri.

Calisto menengadah, seperti baru saja tersadar jika hujan turun dengan lebatnya, lantas berdiri cepat, mengusap wajahnya frustrasi untuk menghilangkan tetesan air yang tentu saja tak ada gunanya karena ia tak memakai pelindung.

Para pengawal bersiaga ketika tuannya itu mulai berdiri dan hendak meninggalkan lokasi pemakaman. Payung hitam terbuka kemudian berusaha menutup kepala Calisto dari hunjaman air langit yang turun. Arak-arak payung hitam lantas terlihat beriringan keluar dari tempat tersebut. Menyisakan lengang yang mencekam.

THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang