Calisto berdiri lesu dengan bersandar pada dinding. Wajahnya memerah menahan gejolak rasa yang kini sedang menyergapnya tanpa peduli. Kedua netranya tampak berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata. Tatapannya tak beralih sedikit saja dari tubuh sang istri yang kini tengah mulai ditutup kain putih panjang di sepanjang badan. Dari lensa mata canggih yang kebetulan saat itu tengah dipakai oleh Calisto, diketahui bahwa perempuan berwajah asing di depannya ini bernama Brisia Addison. Sebuah nama yang terasa asing di dalam hatinya, tetapi berhasil menghunuskan rasa sakit yang amat sangat karena memiliki tubuh Drea, perempuannya yang kini telah tiada.
Saat ini, seluruh tubuh wanita itu telah sempurna tertutup kain, sementara ranjangnya telah siap dibawa keluar. Calisto bergeming. Segala hal yang bertubi-tubi menimpanya saat ini membuatnya tak bisa berpikir. Ia baru saja kehilangan. Hilang yang benar-benar hilang. Tak mampu ia wujudkan kembali sekalipun dalam kenangan karena ternyata wajah cantik yang selama ini akrab dengan matanya itu ternyata tidak ada.
Ia seperti mencintai seseorang yang tidak ada.
Satu bulir air mata mengalir di pipi lelaki itu mengiringi ranjang sang istri yang telah melewati pintu.
Calisto tertunduk dengan rasa geram tertahan yang sedari tadi menuntut untuk dilampiaskan. Seharusnya ia bisa dengan bebas memeluk dan menciumi tubuh istrinya itu untuk terakhir kali, mengucapkan kata cinta dan menyalamkan perpisahan melalui sentuhan kulit mereka sebagai ujung temu, tetapi, mengetahui wajahnya yang berubah menjadi orang lain dan nama asli yang tertera jelas di matanya membuatnya urung.
Siapakah sebenarnya perempuan yang telah lima tahun menjadi istrinya itu? Apakah ia musuh? Ataukah memang wanita gila yang tanpa rencana menyusup ke dalam kehidupannya dengan tujuan entah apa?
Lelaki itu mengerutkan kening dalam mengingat ucapan Dreanya yang mengatakan bahwa ia telah selesai.
Apakah yang sudah perempuan itu lakukan sehingga ia menyebut bahwa dirinya telah selesai? Apakah karena bayinya? Atau hal-hal lain?
Lelaki itu memejam, pertanyaan-pertanyaan yang tak ia tahu ke mana jawabannya itu membuat kepalanya sakit dan seolah akan meledak. Tak mampu menampung dugaan-dugaan yang semakin memelintir.
Sementara para asisten rumah dan pengawal yang telah tiba dan menunggui di depan ruang pun menyambut dengan antusias. Ada orkestrasi degup jantung yang saling berpacu jika saja dapat terdengar di telinga merkeka saat mengetahui bahwa nyonya mereka ternyata tak bisa terselamatkan.
Lama masing-masing dari mereka menunduk dan menunggu, tetapi ketika diketahuinya tak ada Calisto yang turut mengiringi ranjang Drea tersebut, sontak para asisten dan pengawal saling bertatapan lantas segera menyerbu ke dalam ruangan. Dilihatnya Calisto tengah terduduk lesu dengan buraian air mata yang membuat tampilannya terlihat sangat menyedihkan.
“Tuan ....” Salah seorang pengawal memberanikan diri menyapa sembari berlutut di dekat tuannya.
Calisto menoleh perlahan. “Kabari Kaysen ... Beri tahu dia jika istriku telah tiada,” perintahnya sembari mengusap wajahnya dengan kasar, membuang sisa-sisa air mata yang terasa memalukan.
“Urus jenazahnya sesuai kebiasaan. Aku akan datang menjelang ia dimakamkan,” perintahnya yang membuat pengawal itu seketika mendongak dengan alis berkerut.
“Apa maksud Anda? Anda tidak ingin menemani dan melihat wajah istri Anda di rumah persemayaman? Apa yang terjadi, Tuan?” tanyanya diliputi ekspresi ketidakpercayaan bercampur kekhawatiran. Tidak memedulikan bahwa saat ini ia tengah lancang dengan mempertanyakan hal pribadi yang seharusnya tidak ia tuntut untuk tahu. Namun, melihat keadaan genting dan segalanya yang ternyata di luar rencana, pengawal itu sepertinya lupa tengah berhadapan dengan siapa. Begitu juga Calisto yang sepertinya sedang lelah untuk tampak kuat dan memilih berkata jujur untuk sedikit melegakan ledakan perasaan yang kini tengah membuncah di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...