Kaysen berdiri tegap dengan kening mengernyit. Sebelah tangannya tampak menggenggam tangan Celosia. Di sebelah mereka, terlihat Reiga menghela napas panjang setelah menceritakan peristiwa mengejutkan yang tadi sempat menghebohkan para pegawai karena Calisto jatuh pingsan di dalam lift. Saat ini, mereka tengah melaju di salah satu lift horisontal yang ada di dalam gedung untuk mengunjungi Calisto di ruang perawatannya.
Waktu malam semakin beranjak menuju hilir. Kaysen melirik cemas pada Celosia yang memaksakan diri untuk turut serta mengunjungi Calisto. Perempuan itu bersikeras ingin melihat bagaimana keadaan lelaki itu. Karena bagaimana pun, Celosia turut shock mengetahui jika kakak kandung Kaysen itu mengalami sakit akibat kelelahan dan depresi, sementara beberapa waktu lalu, ketika mengunjungi Celosia dalam ruangannya, Calisto tampak bugar dan segar seperti tidak sedang menyimpan kondisi sakit apa pun.
“Kau pergi dulu, aku menyusul nanti.” Kaysen memberi perintah ketika pintu lift terbuka.
Reiga yang tentu saja paham dengan maksud tuannya itu tidak banyak bertanya dan langsung melangkahkan kaki keluar dari lift, membiarkan pintunya tertutup kembali.
Celosia membulatkan mata melihat pintu lift mereka tertutup kembali dan menoleh ke arah Kaysen yang tetap bergeming.
“Kita ... akan ke mana dulu?” Celosia akhirnya bertanya.
“Pergi ke kamarku.” Kaysen menjawab tanpa menoleh. Tidak mau menatap langsung ke arah Celosia, karena jika melihat bagaimana ekspresi perempuan itu yang memelas dan merajuk, bisa ia pastikan jika ia akan berubah pikiran. Padahal sesungguhnya, sejak tadi ia menolak mentah-mentah mempertemukan Celosia dan Calisto.
“Kamarmu? Apa maksudmu?” tanyanya dengan sedikit ketus karena selalu saja tak mengerti dengan rencana lelaki itu.
Kaysen mendengus, pada akhirnya menghadapkan tubuh pada gadis itu dan mengusap bahunya perlahan.
“Bukankah aku sudah mengikuti kemauanmu untuk mengajakmu kemari? Kaubilang akan ikut denganku ke gedung pusat bukan?” seringainya dengan jail.
Celosia memutar bola matanya dengan ekspresi kesal.
“Tapi tidak untuk menjenguk Calisto malam ini,” lanjutnya dengan nada serius. “Hari sudah larut dan aku ingin kau beristirahat. Besok pagi baru aku akan mengajakmu ke sana.”
Baru saja akan menyanggah, Kaysen buru-buru mengucapkan kalimatnya lagi. “Tidak ada bantahan.” Lelaki itu menggeleng tipis dan memaku tatapan gadis itu. “Jadilah gadis manisku yang penurut, oke?”
Perempuan itu mengangkat alis dan mau tak mau mengangguk juga. “Baik,” ucapnya dengan pipi memerah.
Kaysen tersenyum tipis bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. “Ayo, aku akan mengantarmu tidur,” ajaknya dengan memimpin jalan, membiarkan Celosia berjalan sedikit di belakangnya dengan kedua tangan mereka yang masih bertaut.
Lorong itu terlihat berbeda. Nampak seperti lorong dalam suasana rumah. Dua kali Celosia memasuki tempat ini, tetapi, baru kali ini lah dirinya bisa menggambarkan detail ruangan kecil itu dengan benar.
Setelah beberapa langkah, Kaysen berhenti di salah satu pintu yang tertutup, mendekatkan tangannya untuk membuka akses pintu. Kening Celosia berkerut dan menampakkan wajah kecewa. Ruangan kamar itu adalah milik Kaysen, tentu saja, ia tak bisa sembarangan keluar dan masuk sesuka hati. Itu artinya, jika Kaysen memintanya untuk tidur, ia benar-benar menguncinya di ruangan ini dan tidak memberikan kesempatan padanya untuk keluar.
Ada hal penting yang ingin sekali Kaysen bicarakan pada kakaknya itu dan ia tak mau Celosia mengetahuinya untuk saat ini. Oleh karena itu, ia ingin berbicara empat mata dengan kakaknya menyangkut hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...