Celosia duduk dengan tubuh kaku di depan cermin. Perempuan itu menatap dirinya dengan rasa tak percaya. Ia memakai gaun pengantin yang dipilihnya berhari-hari lalu.
Gaun putih panjang menjuntai yang menampakkan pundaknya yang terbuka. Wajahnya yang putih bersih itu kini telah terpulas oleh riasan yang meskipun sederhana, tetapi mampu membuat Celosia tampak lebih dewasa dan anggun.
Tadi, pagi-pagi sekali, terdengar alarm pintu apartemennya berbunyi, membuat dirinya yang baru saja keluar dari kamar mandi terkesiap dengan rasa ingin tahu sekaligus antisipasi yang berkembang di dadanya dengan harapan akan siapa yang datang.
Dengan menyeret gaun sekenanya dari lemari pakaian, Celosia lalu berlari-lari kecil menuruni tangga hingga tiba di depan pintu dengan jantung berdebar.
Waktu masih pukul empat pagi dan orang yang datang di waktu ini pastilah siapa saja yang dibutuhkannya nanti saat upacara pernikahan.
Pada awalnya, Celosia berharap ayahnya bisa menginap di apartemennya itu untuk menemaninya, karena sungguh, Celosia merasa menjadi gadis pingitan yang benar-benar hanya berada di dalam ruangan selama beberapa hari ini. Kaysen tak mengizinkannya keluar, sementara sampai detik ini pula, Kaysen tak jua datang menemuinya dengan alasan kesibukan.
Celosia menarik napas panjang. Hal yang sama terjadi juga pada sang ayah. Entah bagaimana seolah semua orang menjadi sibuk di tengah dirinya yang begitu gugup dengan perasaan tak pasti menjelang pernikahannya ini.
Apakah Kaysen merasakan hal yang sama? Persiapan macam apa yang sedang lelaki itu lakukan? Mengapa Kaysen begitu senang membuatnya menebak-nebak dengan ketidakpastian?
Celosia bertanya dalam hati seraya berdiri menyambut siapa saja yang datang. Begitu pintu apartemennya terbuka, Celosia melihat dua orang perempuan yang sebelumnya telah diberitahukan oleh Reiga bahwa mereka adalah orang yang diutus oleh Kaysen untuk mempersiapkan dirinya. Tampak dua orang itu membawa serta dua meja dorong berwarna hitam dengan logo berwarna emas di penutupnya. Logo sebuah wedding organizer ternama yang bahkan sebelumnya, Celosia tak bisa membayangkan dirinya akan menjadi salah satu dari pengantin yang mendapat pelayanan darinya.
"Anda terlalu banyak melamun, Nona." Perempuan setengah baya yang bertugas menjadi penata rambut itu tersenyum lembut dengan menatap wajah Celosia lewat cermin.
Gadis itu mengangkat kedua alis dan balik menatap wanita itu dengan senyum masam.
"Anda tengah memikirkan apa? Apakah Anda sedang ragu penampilan Anda terlihat sempurna atau tidak?" Sang perias meletakkan hiasan terakhir di kepala Celosia. Sebuah mahkota kecil berbentuk hati yang membuat penampilan Celosia tampak semakin sempurna.
Ada buncah kepedihan sekaligus kebahagiaan yang dalam sekejap muncul dalam lingkar mata Celosia, tapi berhasil ditekannya sekuat tenaga.
Apakah Kaysen sedang menunjukkan wajah aslinya? Apakah sebenarnya lelaki itu tidak bersungguh-sungguh ingin menikahinya?
Celosia menarik napas panjang. Sudah lelah rasanya ia harus terus menerus membesarkan hati untuk selalu berkata baiklah, pada keadaan yang menghimpitnya ini.
Tidakkah Kaysen ingin menyapanya dan sekadar bertanya, apakah dirinya sudah siap?
"Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin meragukan penampilanku. Bagaimana bisa aku tidak yakin jika yang mempersiapkan semua ini adalah Anda berdua?" Celosia memuji dengan nada tulus, tak menyebutkan secara langsung kredibilitas wedding organizer itu.
Sang perias tersenyum sembari memasang tudung di kepala Celosia. "Benarkah? Apakah Anda benar-benar sudah puas? Karena jika tidak, saya akan mengulanginya lagi dalam waktu singkat," ucapnya sembari menengok pergelangan tangannya, menghitung-hitung waktu yang bisa ia gunakan seandainya saja pelanggannya itu tidak puas dengan hasilnya dan harus melakukan rias ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...