Bab 14 - Tak Dikenal

28 8 0
                                    

Kaysen terkesima begitu dirinya menatap ke arah ranjang. Gadis itu mengernyitkan dahi, menggerak-gerakkan tangan dan merintih, seolah baru saja tertidur dengan tidak nyaman. Segera lelaki itu kembali mendekati Celosia, berdiri di samping ranjangnya dengan menggenggam sebelah tangan perempuan itu. Mengisyaratkan kata-kata penuh harap yang tak sanggup ia ucapkan.

Beberapa detik kemudian, tanpa Kaysen bisa mencegah, tim dokter segera merangksek masuk dan turut tergeragap karena tidak diketahuinya jika ternyata Kaysen masih berada di sana. Dan apa? Sikapnya sungguh penuh kasih. Menggenggam tangan wanitanya sembari terus memperhatikan dengan gelisah bagaimana Celosia sedang berusaha membuka mata.

“Tuan Kaysen.” Salah seorang dokter yang berdiri paling depan menyapa, diikuti Kaysen yang menengok dan dengan berat melepaskan pertautan tangannya.

“Periksalah,” perintahnya dengan nada menuntut. Kaysen memundurkan langkah, memberi tempat kepada paramedis agar leluasa menjalankan tugas.

Kedua matanya tak beralih sedikitpun dari wajah Celosia. Kaysen sungguh menikmati bagaimana bulu mata gadis itu bergerak-gerak karena matanya berulang kali ingin terbuka. Lelaki itu sangatlah ingin mengusap dahi Celosia yang berkerut dan berbisik bahwa ia baik-baik saja dalam perlindungan dirinya.

“Sebentar lagi kita akan melihat, Tuan. Bagaimana reaksi dari gadis itu setelah terlepasnya teknologi neo itu secara paksa.”

Pandangan Kaysen mau tak mau menatap sang dokter, lalu  beralih ke arah Celosia lagi. “Bagaimana kondisi fisiknya? Apakah lukanya telah pulih?”

“Ya, Tuan. Secara fisik, keadaan nona Celosia sudah membaik.” Sang dokter memberi penjelasan dengan tetap menunduk.

“Bagus. Kalian keluarlah,” titahnya lagi yang membuat paramedis itu saling berpandangan beberapa waktu dan kemudian bersama-sama meninggalkan ruangan setelah menunduk hormat.

Ruangan kembali hening. Tak ada suara apapun, hanya kelip penunjuk waktu saja yang terus berkedip, menunjukkan perubahan saat. Kaysen mendekat kembali ke peraduan. Kali ini, lelaki itu duduk di tepi ranjang, memperhatikan dengan saksama kala Celosia perlahan mulai membuka netra. Bola matanya tampak berpolat ke sana kemari, kelopaknya memejam lagi, mengerjap-ngerjap sebelum pada akhirnya, perlahan tapi pasti, serentak dengan senyum Kaysen yang mengembang, Celosia membuka mata indahnya yang langsung dipertemukan dengan wajah Kaysen. Wajah yang terakhir kali gadis itu lihat. Ingatan gadis itu berputar singkat, mengenang bagaimana lelaki itu teramat dekat sekali dengannya dan memperlihatkan wajah penuh kekhawatiran ketika ia merasakan dadanya terasa sakit. Ah, lelaki ini yang menolongnya ketika ia kesakitan waktu itu.

Kelegaan seketika merayapi sekujur tubuh beriringan dengan senyuman yang perlahan mengembang di bibirnya. Ketika mulutnya yang mungil begitu bersemangat untuk menyapa, rasa kering di tenggorokan begitu kuatnya mendominasi hingga membuatnya menelan ludah berkali-kali.

Kaysen mengangkat kedua alis dan bersegera mengambil segelas air di meja. Tanpa memerintah, lelaki itu menyodorkan gelasnya dengan sedotan yang ia dekatkan ke mulut Celosia. Tanpa menunggu lagi, perempuan itu pun minum dengan penuh semangat hingga meneguk lebih dari dua pertiga air di dalam gelas.

Setelahnya, ditaruhnya gelas kembali ke meja. “Sudah lebih baik?” tanyanya dengan tetap pada posisinya semula.

Celosia yang baru saja merasa bahagia karena air putih yang terasa sangat nikmat di tenggorokannya itu, menatap ke arah Kaysen yang nampak menjulang tinggi di hadapannya dan mengangguk sebagai jawaban. Sejenak, gadis itu terpaku memandangi Kaysen. Merekam dengan jelas setiap inci wajah tampan lelaki itu. Alisnya yang tebal, mata birunya dan keseluruhan tatanan wajahnya yang entah bagaimana terlihat begitu pas di tempatnya.

THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang