Suasana rumah kecil itu kembali hening beberapa saat setelah bunyi tembakan mengudara. Seperti tujuan semula untuk menghabisi keluarga Luke, setelah semua orang dalam rumah itu tergeletak tak berdaya, dua orang bertopeng itu melenggang pergi dengan penuh bangga karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Seolah menunggu saat yang tepat, kedua mata Luke terbuka, mengamati sekeliling dan memastikan tidak ada suara apa-apa lagi setelah derap langkah yang saling bersahutan itu menjauh. Lelaki itu kemudian membalikkan badan. Peluru yang ditembakkan tepat ke dada kirinya itu hanya membaretkan sedikit luka di kulitnya karena ia memakai rompi anti peluru yang sialnya kalah kuat dengan kekuatan pistol dua orang tadi.
Luke membuka baju beserta wesket yang dikenakannya, matanya melirik ke arah luka di dada yang perlahan membuka jalan bagi darah merahnya untuk keluar. Syukurlah ia sempat memanfaatkan waktu singkatnya untuk membawa senjata dan mengenakan rompi sebagai perlindungan diri.
Luke lalu melihat ke sudut ruang di mana Lillian kini terbaring bersimbah darah dengan tangan dan kaki yang masih terikat serta mulut terbekap. Di sisi lain, Celosia ambruk dengan tubuh sepucat mayat dan juga tak sadarkan diri. Wajah lelaki itu memerah menahan tangis, melihat pemandangan yang memedihkan hati. Dua orang yang ia cintai berada pada situasi kritis dan ia tadi tak sempat memberi mereka perlindungan.
Orang-orang itu pastilah masih erat hubungannya dengan hacker dan para penculik Finley. Mereka jelas ingin menghabisi satu demi satu orang-orang Win Thousand, termasuk dirinya yang menjadi bagian penting dari perusahaan raksasa itu. Sungguh Luke jengkel pada diri sendiri karena harus turut terlibat pada persoalan pelik ini. Terlebih, harus membuat keluarganya turut merasakan imbasnya. Ia yakin, mereka sudah mengendus rencana dirinya dalam membuat sebuah teknologi baru untuk menyelamatkan putra mahkota Win Thousand dan berniat menggagalkannya pada titik akhir.
Di tengah keputusasaan dan sakit hati yang membuat badannya lunglai, lelaki itu berdiri dan menghampiri istrinya terlebih dahulu. Lillian terkena luka tembakan dan banyak mengeluarkan darah. Dia harus mendapat pertolongan pertama kali. Celosia mungkin saja hanya terkena bius dan bisa ia tangani nanti.
Perlahan, Luke membuka lakban yang menutup mulut istrinya, rasa perih langsung menghunjam ulu hati bagitu menatap bibir istrinya yang kini memucat hampir membiru. Lelaki itu kemudian membuka satu persatu ikatan yang menyimpul di tubuh Lillian. Ketika tanpa sengaja tangan tuanya itu menyentuh pergelangan tangan istrinya yang dingin, Luke membeku. Ketakutan menyelubungi dirinya ketika menduga hal terburuk terjadi. Dengan tangan menggigil, lelaki itu menyentuh sekali lagi dengan gerakan pasti, pergelangan bagian dalam wanita itu demi menyangkal kenyataan yang sudah terbentang jelas di depan mata. Nadi Lillian sudah tak berdenyut lagi.
Laki-laki itu merasakan pukulan telak di dalam dada dan matanya mulai menangis. Ia tak menahan-nahan lagi, isakannya pecah seiring tubuhnya dengan cepat merengkuh Lillian yang kini tak lagi bisa membalas pelukannya. Perempuannya telah tiada. Dan hal itu membuat setengah tubuhnya seolah turut hilang entah ke mana. Luke menangis sejadi-jadinya. Memeluk erat Lillian untuk terakhir kali yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya akan terjadi hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...