Celosia membelalak. Wanita itu menatap mata Timmy dalam keterpakuan yang menyesakkan. Tidak menyangka bahwa atasan yang sudah seperti keluarganya itu mendadak membicarakan sesuatu hal yang bahkan satu titik saja tidak pernah ada dalam benaknya.
Timmy memecatnya? Kenapa?
Apakah ia berbuat suatu kesalahan besar sehingga mengharuskan ia menerima hukuman seperti ini? Ataukah … ah, Celosia tidak dapat berpikir lagi karena dadanya kini kembang kempis oleh rasa sakit yang perlahan mengirimkan perihnya ke seluruh tubuh. Dia merasa terpukul dan seketika itu juga, Timmy yang pada beberapa menit lalu begitu akrab dengannya, seolah menjadi orang asing yang tidak ia kenal.
Timmy memalingkan muka. Menatap ke depan dan memperhatikan bagaimana dua orang lelaki terakhir yang mendatangi kafenya itu beranjak berdiri, meninggalkan beberapa lembar uang di meja lalu bersamaan melangkah menuju pintu keluar dengan tertawa dan saling menepuk bahu. Begitu berkebalikan dengan keadaan dirinya dan Celosia yang saat ini terasa aneh karena ucapannya tadi.
Sungguh air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata. Dia pikir, memutus suatu hubungan terlebih dahulu akan terasa mudah karena ia sudah menemukan alasan dan cepat bisa beradaptasi dengan perkara yang saat ini menjadi sebuah kunci, mengapa dirinya memberhentikan Celosia.
Ternyata, Timmy salah. Dia merasa sakit, sungguh sakit, sebab ia harus merelakan seseorang yang ia sayangi, seseorang yang ia pedulikan harus pergi dari sisinya setelah begitu lama bersama.
Sama seperti Celosia. Timmy sudah menganggap Celosia sebagai adiknya. Menyuruh anak perempuan itu pergi sama dengan meminta hatinya untuk pergi.
Dan bagaimana rasanya memaksa diri untuk berpisah dari seseorang yang disayangi? Seperti sengaja menggores kulit sendiri dengan pisau. Ada rasa bersalah, menyesal, sakit tak tertahankan dan rasa kesal pada diri sendiri yang tak terlampiaskan. Ada baret luka terbuka yang mengeluarkan banyak darah serta yang paling tidak diiinginkan adalah bekas luka yang sangat sulit hilang. Tertanam permanen dalam ingatan.
Timmy menarik udara dalam-dalam. Mencoba menelan liurnya dengan susah payah karena tangisnya sudah naik ke tenggorokan. Namun, dengan segera dirinya berdiri dari kursi. Bersikap dingin pada Celosia yang masih memaku diri di tempatnya.
Perempuan itu pastilah sedang tekejut luar biasa atas keputusan mendadak yang tanpa aba-aba ini. Wanita itu melangkah menuju meja yang kini hanya menyisakan dua cangkir kosong serta beberapa lembar uang yang dibayarkan para pelanggan tadi.
Pandangan Celosia mengikuti pergerakan Timmy. Dan dalam satu tarikan napas panjang, gadis itu turut bergerak menjangkahkan kaki menuju tempat Timmy di mana wanita itu tengah membersihkan meja dan mengangkat cangkir kosong yang berada di meja. Gadis itu memandangi punggung Timmy yang sedang sedikit membungkuk di depannya dan dengan mantap berkata,
“Aku akan membersihkannya,” ucapnya dengan mantap. “Aku ingin menjalani hari terakhirku di tempat ini dengan baik dan tidak membuatmu kecewa. Yah, paling tidak aku tak menambah kenangan buruk karena tingkahku yang tak menyenangkan,” sambungnya yang membuat tubuh Timmy menegang dan berhenti sejenak demi meresapi ucapan yang tak terkira akan keluar dari mulut gadis yang selama ini sudah seperti saudaranya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...