Sesal

2K 118 1
                                    

"Bang Dika, Dinda ikut ya?" Rengek Dinda, adik perempuan satu-satunya Dika.

"Ikut kemana?" sahut Dika malas sambil mengunyah makan siangnya di rumah.

"Ikut ke rumah Bang Budi, katanya dia sakit?"

"Buat apa? Gak usah, demam saja kok lebay amat sampai dijenguk sekampung" ucap Dika sinis.

"Pokoknya Dinda ikut! Bang Budi itu baik, suka nolongin Dinda kalau ada PR, pokoknya Dinda nanti ikut" tegas Dinda ngotot.

"Eh jangan bilang kalau kau suka sama dia?" ucap Dika.

Dinda wajahnya memerah malu. Namun Dinda tampak mencomot apel, jeruk dan buahan lain dari atas meja lalu di masukkan ke plastik kresek besar, didalamnya ternyata sudah ada susu, aneka snack, biskuit, dan permen.
Dika semakin yakin adiknya itu naksir pada Budi. Ya ampun dasar cewek cepat banget cinta monyetnya gerutu Dika.
*

Rumah Budi kini ramai oleh teman-teman sekelasnya, juga Dinda adik dari Dika. Hanya Dika dan keempat temannya yang tak mau masuk ke dalam rumah itu. Mereka tak hanya benci sekaligus takut jika Budi membeberkan semuanya.
Tak lama kemudian Dinda keluar rumah, wajahnya memerah dan air matanya menetes mengalir.

"Lebay amat kau, kenapa nangis segala?" sindir Dika sadis.

"Gak tega Dinda lihatnya bang, tangan kiri bang Budi patah, dan betisnya luka lebar dan dijahit"
Ucapan Dinda itu langsung saja membuat Dika terhenyak kaget, dipandanginya keempat wajah temannya yang tampak pucat seketika. Otak Dika cepat berpikir, seingatnya mereka tidak terlalu keras menghajar Budi palingan yang paling sadis ya itu, mengencingi wajahnya, tapi kenapa bisa separah itu. Tanpa pikir panjang Dika menyeruak menerobos rumah mungil itu yang penuh oleh teman-teman sekelasnya.

"Crassss" Dika rasakan hatinya begitu sakit laksana ditebas pedang, Budi saat itu tengah terbaring lemah, tangan kirinya dibalut kain ditopang kayu penyambung tulang, sedangkan betis kanannya dibungkus perban dan masih bernoda merah darah.

Budi menyadari kedatangan Dika, keempat mata mereka saling beradu. Dika tau itu, sorot mata Budi kali ini terasa berbeda, tak ada aura dendam dan marah apalagi benci disana, yang dilihatnya adalah sorot mata ketidak berdayaan gambaran rasa sakit.
Dika semakin rasakan hatinya bagai diremas hancur, tanpa disadarinya air matanya tumpah. Dan tanpa sepatah kata dia meninggalkan rumah itu berlari dan terus berlari ke barisan tanaman singkong dihalaman belakang rumah Budi, di satu pohon sawo dia jatuhkan diri, terduduk disana dan mulai menangis sesenggukan.
"Maafkan aku Bud! Aku, aku  jahat sekali padamu"
*

Malamnya Budi membalik halaman buku yang dibacanya sambil berbaring di kamar, ketika ibunya masuk.

"Bud ada temanmu yang datang?" kata ibu.

"Siapa bu?" tanya Budi tanpa menghentikan bacaannya.

"Ibu tidak kenal!" Ucap Ibu.

"Suruh masuk saja Bu"
Budi menutup bukunya, lalu merapikan kain sarung yang menutupi tubuh bawahnya.
Kreekkk pintu terbuka, satu sosok cowok ABG tampan berambut disisir spike , dengan pakaian keren dan harum masuk menemuinya.

"Dika" Seru Budi kaku.
"Hai, Bud" Sapa Dika setenang mungkin walau dadanya bergemuruh.

"Oh, sini duduk!" Budi meminta Dika duduk di samping ranjangnya. Dika menurut, tatkala dilihatnya Budi mencoba untuk bangkit bersandar di kepala ranjang, cepat dia membantu.
Keduanya diam membisu, Dika menunduk tak berani menatap Budi. Suasananya benar-benar kikuk karena selama ini mereka bermusuhan.

Lalu sayup-sayup terdengar isak tangis Dika yang sukses membuat Budi melongo heran.
"Bud, maafkan aku, sungguh aku tak tau kalau semua jadi begini, aku jahat sekali padamu" Dika menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Terasa seseuatu mengusap rambutnya.

"Lho, kok nangis, ini bukan salahmu, aku jatuh ke sungai waktu melewati jembatan"

"Tapi tetap itu semua gara-gara kami, akibat kami menghajarmu kau kesulitan mengayuh sepeda" sergah Dika.

"Udah lupain, aku udah maafkan kok" ucap Budi sambil menghapus air mata Dika, seulas senyum tulus mengembang disana.

Dika merasakan sentuhan tangan itu begitu teramat indah, sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Omongan mereka berhenti sebentar, ibu Budi masuk membawa dua gelas susu hangat dan pisang goreng. Setelah ibunya keluar barulah mereka kembali berbicara.

"Bud, cepat sembuh ya, lima hari kau tak sekolah, aku rindu dan kesepian juga" tutur Dika penuh rindu.

Budi tersenyum kecil, ucapan Dika itu terasa aneh, bagaimana mungkin seseorang merindukan musuhnya.

"Aku kangen ucapan ketus dan wajah dinginmu itu" ucap Dika lagi.

"Aku juga. Kangen sama kelucuanmu dikelas. Dulu aku berpikir tindakanmu itu bodoh, tapi setelah aku di rumah tak sekolah kalau ingat kekonyolanmu itu sumpah aku jadi senyum-senyum sendiri" ucap Budi pula.

Dika rasakan hatinya meremang bahagia mendengarnya.

"Oh iya ini aku bawain roti bantal selai srikaya, aku buatin ya" tawar Dika.

Budi mengangguk.
Dika dengan sigap membuka bungkus roti bantal, mengoleskan selai di permukaannya lalu di dekatkannya ke mulut Budi.
Budi membuka mulutnya lalu menggigit roti itu. Untuk pertama kali dia menyadari bahwa Dika manis sekali, jauh lebih manis dari selai yang dicecapnya.

"Eh kau makan juga dong" pinta Budi. Keduanya kini tampak akrab, tak ada lagi permusuhan disana.

"Kau baca buku apa tadi?" tanya Dika sambil melihat sampul buku di tangan Budi.

"Ah buku dongeng kok, btw aku minta maaf dulu sudah memanggilmu najis" Budi mengingat penyebab dia dikencingi Dika.

"Ah jangan bahas itu lagi, sekarang kita bersahabat, gak boleh bahas masa lalu lagi. Janji ya?" Dika angsurkan jari kelingkingnya. Budi pun menyambuti, dua kelingking mereka bertaut jadi satu.
"Janji"
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang