Kilas Balik : Ke Hutan

610 39 2
                                    

Hari ini rombongan dibagi dua, 6 ke sawah, sedangkan 3 lagi melakukan kegiatan sosial ke sekolah.  Budi, Fatir dan Deo yang ditugasi ke sekolah, mereka berkenalan dengan para guru di satu-satunya SD di kampung itu, lalu bersama guru IPA mereka melakukan perkenalan dengan para siswa, ya seperti acara seminar kecil-kecilan, yang dibahas tentu saja masalah pertanian dan cara bercocok tanam sederhana. Di ujung acara mereka memberi kuis kecil-kecilan berhadiah buku dan alat tulis. Setelahnya mereka pun mengambil beberapa foto buat dokumentasi.
***

Sekolah telah bubar, Budi, Fatir dan Deo berjalan kaki kembali ke posko, di tengah perjalanan mereka melihat seorang anak SD tergeletak di jalan dengan kepala berdarah, sepeda ontel tua yang dibawanya tumbang tak jauh disana. Anak itu ternyata terjatuh dan kepalanya terkena batu hingga bocor berdarah, sedangkan beberapa kulit kaki dan lengannya lecet, baju putihnya telah ternoda darah, mulutnya mengaduh ditengah suara tangis.

"Astaga" teriak Fatir, Budi dan Deo cepat mengikuti. Ketiganya segera memeriksa keadaan si bocah.

"Waduh gimana ini? Kalau dia mati gimana?" Tanya Deo panik.

"Huss mulutmu!" Maki Fatir.

Sedangkan Budi telah menggendong anak itu sembari mata berputar liar mencari-cari orang yang bisa diminta tolong, beruntung ada sebuah motor lewat, Fatir memberhentikan motor itu, bersama si pemilik motor, Budi membawa anak itu ke puskesmas, sedangkan Fatir dan Deo kembali ke posko dengan membawa sepeda tua si anak yang mengalami kerusakan ringan.
***

"Terima kasih ya mas?" Ucap seseorang di depan puskesmas desa yang sederhana sembari menggendong bocah SD yang luka-lukanya telah diobati, lengan kanannya terkilir.

Budi cuma tersenyum, sebegitu berjodoh lah mereka hingga takdir menggariskan bahwa mereka harus sering bertemu. Ternyata anak SD yang dibawa Budi ke puskesmas adalah keponakannya Permadi, pemuda desa yang sejak awal kedatangannya telah menarik hatinya. Apalagi Permadi seolah-olah berusaha untuk dekat dan akrab dengannya.

Budi cuma tersenyum, dia menatap anak SD itu dengan penuh sayang.
"Bagaimana keadaanmu dek?" Tanya Budi.

"Sudah agak baikan bang, cuma masih sakit" jawab si anak dari gendongan Permadi.

"Lain kali hati-hati naik sepeda, jangan ngebut-ngebut"

"Iya bang, tadi soalnya udah lapar sekali makanya ngebut" jawab si anak polos.

Budi mengangguk mengerti lalu Elus kepala si bocah.

"Mas pulangnya gimana?" Tanya Permadi.

Budi seketika cengengesan, puskesmas dan posko jaraknya hampir 2 kilo, jalan kaki tentu saja sangat melelahkan.

"Ya udah bareng aku aja, nanti aku antar ke posko, tapi sebelum itu main dulu ke rumahku" ucap Permadi sembari tersenyum penuh harap.

"Kau tidak ke sawah?"

"Sudah! Tapi pulang lebih cepat karena dapat kabar Maman sepupuku ini masuk puskesmas. Sudah izin kok sama Juragan" ucap Madi lagi-lagi dengan bahasa yang sopan.

Budi mengikuti Permadi menuju motor tuanya. Bertiga mereka mengendarai kendaraan roda dua itu, menempuh jalan yang jelek namun dipenuhi pemandangan yang asri.
Namun bagi Budi pemandangan punggung Permadi yang tengah menyetir jauh lebih indah, ada kegagahan laksana Arjuna di sana. Kegagahan yang memercikkan kedamaian bercampur kagum dan rindu.

Khayalan Budi sirna setelah motor tua itu berhenti di depan sebuah rumah teramat sederhana, berdinding kayu dan beratap daun Rumbia. Tapi Budi suka akan nuansanya, dia jadi teringat rumahnya di kampung halamannya.

"Masuk mas? Beginilah keadaan rumah" ucap Permadi.

Budi membuka alas kaki lalu mengucapkan salam. Satu suara perempuan menyahut. Perempuan yang kira-kira berusia lima puluh itu menyambut mereka.

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang