Hari telah mulai meredup, pertanda waktu Maghrib hampir tiba. Putra dan Ki Selamet diikuti oleh Aris dan Sukma Dika berjalan mengikuti jalur tanah yang membekas karena seretan tubuh Jessy, mereka tengah mencari-cari goa yang dibilang Jessy, goa yang akan menjadi ritual gila dan sesat seorang dukun ilmu hitam bernama Ki Darso.
"Susah juga urusan ini, hari mulai menggelap" ucap Aris, walau letih tapi dia masih semangat.
"Kita berhenti dulu sebentar, aku haus!" Ucap Ki Selamet, lalu dia menebas satu akar tanaman yang menggantung, dari akar itu menetes bulir-bulir air. Ki Selamet cepat mencecap air itu. Setelah dia Aris buru-buru menggantikannya, dia juga haus, begitupun dengan Putra. Ketiganya selesai memuaskan dahaga, Ki Slamet memotong satu akar menjalar lagi, ketika air merembes dia menampungnya dengan tabung bambu sepanjang dua jengkal yang dibawanya di dalam karung kainnya, sebelum menutup botol tampak mulut Ki Selamet komat-kamit merapalkan doa.
Hanya Sukma Dika yang tak melakukannya, setelah terlepas dari raganya, Sukma pemuda itu tak pernah sedikitpun merasa haus, lapar atau lelah. Sukma Dika hanya merisaukan keselamatan raganya dan Budi.
***Di goa rahasia itu, setelah melakukan semedi ritualnya dengan bertelanjang bulat, tiba-tiba lantai goa bergetar, di hadapan Ki Darso,dari dalam tanah mendadak mencuat muncul tiga buah benda terbuat dari batu.
Yang pertama satu buah patung ikan, besar juga, setinggi dan sepemelukan manusia. Di sebelah tengah muncul satu kursi besar dari batu, mirip kursi pelaminan hanya saja menyeramkan. Jika pelaminan biasa dipenuhi dekorasi bunga-bunga aneka warna, namun pelaminan ini dihiasi ukiran-ukiran mengerikan, wajah-wajah demit dan tengkorak juga aksara-aksara kuno. Dan di pinggir satu lagi, benda yang ketiga sebuah ranjang besar yang lagi-lagi terbuat dari batu, ranjang itu juga dipenuhi oleh ukir-ukiran aksara dan lambang-lambang kuno.
Senyum Ki Darso mengembang.
"Ranjang dan pelaminan setan telah muncul, begitu juga patung ikan Dunggalapati, upacara pernikahan siap dilaksanakan" Ki Darso masih dalam keadaan telanjang membuat tiga tepukan tangan, dari satu lorong goa keluar tiga sosok manusia, dua lelaki dan satu perempuan. Dua laki-laki itu tak lain adalah Budi dan Raga Dika, sedangkan yang perempuan adalah Wati, ketiganya telah dirias menjadi pengantin, lengkap dengan pakaiannya. Bau harum melati bercampur dengan bau kemenyan tercium santar.Ketiga pengantin, dengan Wati ada di tengah berjalan beriringan, sedangkan delapan perempuan serigala bertindak laksana dayang-dayang pengiring.
Tiba-tiba saja, diruangan itu terdengar suara hiruk pikuk nan riuh, disusul munculnya suara gamelan iringan pengantin. Astaga, ternyata di ruang itu telah penuh oleh para dedemit yang ingin menyaksikan jalannya upacara pernikahan.
"Tamu-tamu kehormatan telah datang, upacara ini benar-benar akan meriah" gumam Ki Darso. Kakek yang bertelanjang ini segera memberi isyarat kepada tiga pengantin itu untuk berdiri di depan patung ikan Dunggalapati.
"Membungkuk dan beri hormat kepada junjungan kita, Kanjeng Dunggalapati" perintah Ki Darso.
Ketiga sosok itu dengan ekspresi datar mengangguk, lalau membungkuk di hadapan patung Ikan Dunggalapati, tampak patung itu pancarkan sinar merah semerah darah begitu ketiga pengantin berikan penghormatan.
"Bagus! Sekarang duduk di pelaminan" perintah Ki Darso lagi. Ketiga sosok yang masih di bawah pengaruh ilmu gendam kembali menurut. Mereka duduk di atas pelaminan dengan Wati berada di tengah. Budi di kanan dan Raga Dikadi kiri.
Ki Darso keluarkan suara tertawa mengerikan, begitu juga para undangan yang terdiri dari para dedemit, semua bersorak-sorai. Ki Darso mengambil satu lonceng kecil, lalu mulutnya melantunkan mantera berbahasa kuno, melakukan tarian dengan bermusik lonceng mengelilingi pelaminan itu, sampai tujuh putaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)
Fiksi RemajaDika dan Budi, dua musuh bebuyutan di masa SMP tak disangka menyimpan rahasia perasaan yang sama, namun konflik sepele khas anak ABG plus kejaiman dan ego masing-masing membuat mereka mengabaikan suara hati. Namun semua rasa itu kembali mengusik ket...