Firasat

1.5K 85 0
                                    

"Budi!" Seru Dika sambil melompat terbangun, wajahnya pucat dan berkeringat dingin dengan nafas ternegah-engah. Dika mengatur nafas lalu mengacak-acak rambut sebahunya.
Diliriknya jam dinding di kamar. Pukul 3 dini hari.

"Astaga! Aku bermimpi buruk. Apa artinya ini? Aku melihat Budi bersetubuh dengan seorang perempuan lalu perempuan itu menjelma menjadi kuntilanak dan mencekiknya hingga mati" Dika kembali mengacak rambutnya, perasaannya menjadi tidak enak. Di sambarnya ponselnya, dicarinya nomor Budi yang telah dimasukkannya ke dalam daftar hitam, dibukanya blokir itu dan di telponnya.
Lama sekali baru diangkat

"Hallo" Dika cepat menyapa begitu terdengar teleponnya disambut.

"Apaan? Tumben kau nelpon malam-malam? Bukannya kau sudah benci samaku dan memblokirku" terdengar suara Budi menyambut ketus sambil menguap beberapa kali.

Dika terkesiap dan sedikit kagok kali ini. Dengan gagap dia menjawab.
"Maaf, aku gak bermaksud mengganggu tidurmu, apa, apa, apa kau baik-baik saja?" Tanya Dika hati-hati. Terdengar suara tawa menyahutinya.

"Kau ini aneh, jelas-jelas aku baik-baik saja, kalau tidak mana mungkin aku bisa mengangkat telponmu"

"Aku serius, perasaanku tidak enak, aku mimpi buruk tentangmu" ucap Dika lagi.

Lagi-lagi Budi menyahut sembari tertawa.
"Lagi-lagi jawaban konyol, kau itu sarjana dan sekarang jadi orang kota, ngacok, mimpi saja dipercaya"

"Tolonglah kali ini percaya saja padaku, aku punya firasat ada orang yang berniat jahat padamu, aku bermimpi kau menggauli seorang perempuan lalu perempuan itu menjelma jadi kuntilanak dan mencekik leher dan menghisap habis darahmu"

"Cukup Dika! Hentikan omong kosongmu itu, aku mau tidur, bodoh amat kau mau mimpi apa, mimpi buruk kek, mimpi basah kek, bukan urusanku" jawab Budi.

Dika ingin berbicara kembali. Namun tutt sambungan terputus. Ketika dia mencoba menelpon kembali nomor Budi sudah tidak aktif.

"Budi, kenapa kau bersikap begitu, aku sayang padamu, salahkah jika aku perhatian dan mengkhawatirkanmu?"
***
Esok malam kembali mimpi buruk itu hadir kembali, kali ini dalam bentuk yang lain. Dika bermimpi Budi tengah dililit seekor ular besar hingga remuk dan menelannya pelan-pelan.

"Dua kali Budi, Dua kali aku bermimpi buruk tentangmu" kembali Dika menelpon Budi dan menceritakan mimpinya, lalu tanggapan Budi masih sama, dibilangnya Dika itu ngacok dan mabok, lupa baca doa sebelum tidur.

"Baca doa, baca doa! Apa dia pikir aku tak pernah berdoa!" gerutu Dika ketika teleponnya putus.

Malam ketiga kembali Dika bermimpi, seorang pemuda desa tampan namun berwajah pucat mendatanginya dan berkata padanya
"Selamatkan dia, selamatkan dia"
Lalu sosok itu lenyap.
Kembali Dika terjaga, dan memikirkan semua mimpi-mimpinya itu.
"Memang mimpi itu cuma kembang tidur tapi kalau berkali-kali datang? Dan pemuda di mimpi tadi, bukankah dia Permadi? Orang yang ada di foto bersama Budi dan telah meninggal" tengkuknya merinding. Dika menyambar ponselnya dan ingin menelpon Budi, namun hatinya meragu, dan kali ini dia memilih untuk mengirim pesan
"Bud, aku mimpi buruk lagi tentangmu, sudah 3 kali, ku mohon kau berhati-hatilah dan jaga diri baik-baik"

Tujuh menit kemudian masuk pesan balasan.
"Ngacok, hanya orang tolol yang percaya dengan mimpi"

Blammmm, Dika rasakan hatinya menyempit sakit.
"Kent*t! Aku perhatian malah dibilang tolol. Jembut lu. Terserah apapun yang terjadi padamu aku tak akan perduli lagi" Dika hempaskan ponselnya ke atas kasur dan mencoba kembali tidur.
***

Sarapan pagi keluarga itu berlangsung hangat, nasi goreng dengan ayam krispi begitu menggugah selera.
Bu Rasmi dan suaminya Pak Pandu saling pandang lalu memperhatikan satu-satunya anak yang masih tinggal bersama, Dika yang telah berusia hampir 27 tahun namun masih betah melajang.
Dika sendiri tengah melahap nasi goreng.

"Dika" tegur Ayahnya
"Iya Pak?"
"Bagaimana hubunganmu dengan Dian? Apa kalian masih pacaran?" Tanya ayahnya.

Dika terbatuk seketika, lalu cepat meneguk air putih.
"Hmmm Dika tidak tau Pak" jawabnya cuek dan mulai mengunyah lagi.

"Dika, kau sudah hampir kepala 3, mau sampaj kapan melajang terus, apa tunggu rambutmu jadi uban baru berpikir akan menikah? Kami sebagai orang tua juga ingin menimang cucu darimu" tambah Pak Pandu.

Dika hentikan makannya, dipandangnya wajah ayahnya sebentar, lalu dia menunduk. Menikah dengan Dian? Dika merasa dilema, hatinya meski kesal, namun masih berharap pada Budi, dan kini orang tuanya mendesaknya untuk menikahi Dian tanpa tau kalau dirinya seorang gay. Dan sialnya Dika terlalu takut untuk mengutarakan orientasi seksualnya itu.

"Nak Dian itu cantik, dan cocok sama keluarga kita, apalagi kita sudah bersahabat dengan keluarga mereka" kini ibunya turut bicara.

"Kalau kau belum siap menikah, bagaimana kalau bertunangan dulu?" usul Ayahnya. Dika semakin terpojok.

"Akan Dika pikirkan dulu Pak" sahutnya tak bergairah.

"Bagus, sangat besar harapan bapak  dan emak kalian bisa bersatu" lalu Ayahnya bangkit dan bersiap ingin berangkat kerja, begitupula ibunya.

Bi Warsih pembantu mereka menghampiri dengan membawa segelas susu dan meletakkannya di dekat Dika.
Dika sendiri kembali meneruskan sarapannya yang lumayan banyak itu. Ketika tangannya ingin meraih gelas berisi susu hangat itu tiba-tiba
Krakk.....Gelas itu retak seribu.
Dika terkesiap, mendadak jantungnya berdebar, perasaannyapun tidak enak. Pikirannya pun tertumpu pada satu nama, Budi.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang