Malamnya didalam kamar itu barulah Budi menyadari betapa sunyi dirinya tinggal sendiri di rumah itu.
Bayang-bayang Dika selama seminggu di sana seakan berkelebat di matanya. Budi meramas rambutnya, lalu melangkah keluar kamarnya menuju kamar tamu sederhana itu.
Pintu terkuak, kamar itu telah kosong, kasur sederhana dimana biasanya Dika tidur bersama si kembar tampak lusuh.Budi melangkah masuk lalu baringkan tubuhnya tepat di kasur yang dipakai Dika.
Budi rasakan dadanya bergetar hebat, jantungnya berdebar seolah memanggili nama Dika. Budi pejamkan matanya, lalu secara naluri air mata itupun tumpah.
***Kenangan Budi:
Anak tolol di kelas ku itu tak ubahnya seperti badut, konyol dan kurang ajar. Terkadang aku menyaksikan betapa jalangnya makhluk satu ini terhadap perempuan. Belum lagi kalau guru tidak ada, bagaikan manusia tanpa urat malu dia tampil ke depan kelas, ngebanyol, berlagak artis komedi padahal gak lucu sama sekali.
Bisa kubilang dia itu badut, bahkan badut masih terlalu bagus buatnya, dia itu lebih tepat jika ku bilang topeng monyet. Tapi entah kenapa tiap si topeng monyet itu tidak datang ke sekolah aku justru kecarian sosoknya. Kelas terasa beda tanpa ada tingkah ajaibnya, tanpa suara tawa renyahnya, bahkan juga sorot mata kekanakannya yang teramat menggemaskan itu. Ah sialan, akhir-akhir ini aku semakin sering memikirkannya.
Hari itu dia mati kutu diomelin Bu Mila, habisnya siapa suruh ngumpetin sepatu guru. Tapi namanya juga bajingan tengik, diberi hukuman bukannya nyesal malah kesenangan, kok ada ya manusia kayak gitu. Dan ah kampret, Bu Mila malah menyuruh si topeng monyet itu duduk di sebelahku. Oh shit, aku benci ini, tapi kenapa hatiku malah senang, dia duduk di sebelahku, mata imutnya itu menatapku dengan pandangan yang malah bikin jantungku bagai disengat listrik. Oh tidak Budi, kau tidak boleh memandangnya.
Hari itu ulangan MM, pelajaran yang ku benci namun sialnya aku selalu bisa mengerjakan soal-soalnya. Aku ingin bodoh matematika saja, cukup bisa tambah-tambah dan kurang-kurang saja. Toh aku tak pernah masuk ranking 3 besar.
Ku lirik si Dika monyet di sebelahku. Lembar jawabannya masih kosong.
"Bud" panggilnya
Astaga... Ya Tuhan, untuk pertama kali dia menyebut namaku, jantungku kenapa seperti mau copot. Lihat tidak ya? Lihat tidak ya?"Bud jembut, bud jembut!"
Anjing, namaku yang begitu bagus dan bermakna itu di kasi embel-embel rambut kelamin, dengan tatapan membunuh ku lihat wajahnya yang nyengir ganteng. Anjing kenapa aku memujinya? Eh tapi dia memang ganteng.
"Nyontek dong"
Dasar monyet, setelah dia memanggilku jembut, enak saja dia mau nyontek.
"Bencong!" cecarnya lagi.
Jahanam, mentang-mentang aku lemah di olahraga dia ngatain aku bencong, aku tak terima. Aku ngamuk, kami baku hantam. Tapi tetap aku yang kalah. Dan kini Guru MM dengan wajah galak menyeret kami berdua ke BK.
Sumpah aku takut sekali kena surat panggilan orang tua, tapi si monyet malah tenang-tenang saja. Huh lega cuma disuruh nyapu halaman sekolah, beda sama si monyet, disuruh bersihin tahi di wc. Hahahahaha.Gara-gara itu aku benci pada Dika, si monyet yang sok ganteng itu. Bukan rahasia lagi kalau kami musuh bebuyutan, walau setiap hari kami duduk berdampingan layaknya pengantin. Buset dah!
Siang itu aku dengan santai mengayuh sepeda ku pulang. Dan tiba-tiba saja dari balik pohon cokelat muncul si monyet dan genknya. Mereka berlima, mencegat ku di tempat ini.
Sial, mereka menuduhku sebagai pelapor mereka merokok ke guru BK, anjing, tuduhan gila.
"Minggir kau, boro-boro lapor ke BK, nyebut namamu aja najis bagiku" ucapku galak.
Eh si monyet marah. Mereka mengeroyokku, ampun dah sakitnya. Aku di telentangkan, empat kunyuknya memegang tangan dan kakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)
Teen FictionDika dan Budi, dua musuh bebuyutan di masa SMP tak disangka menyimpan rahasia perasaan yang sama, namun konflik sepele khas anak ABG plus kejaiman dan ego masing-masing membuat mereka mengabaikan suara hati. Namun semua rasa itu kembali mengusik ket...