Jaim dan Gengsi

1.7K 120 1
                                    

Suasana Makan malam terasa sedikit berbeda. Budi jadi pendiam, sama seperti ketika dia di SMP dulu. Membuat Dika, Aris dan Arif merasa tidak nyaman. Selesai makan dan beres-beres Budi langsung menuju kamar.

"Mas Budi kenapa?" Tanya Arif pada Aris dan Dika.

Aris mengangkat bahu. Dika tak bersuara karena bingung mau bilang apa. Ketiga orang itu mau tak mau pergi pula ke kamarnya.
***

Jam sebelas malam, suasana begitu sepi, hanya ditemani suara serangga malam. Aris dan Arif sudah tertidur dengan posisi yang menggelikan, si adik tertidur dengan posisi memeluk si kakak dengan kaki tepat berada diatas pangkal paha Arif.
Dika tersenyum kecil melihatnya, iseng-iseng dia mengambil foto mereka dan memasukkannya ke akun medaosnya. Saat itulah  samar-samar dia mendengar suara suling yang ditiup perlahan.

"Budi" Bisiknya.
"Aku harus bicara padanya"

Cepat dia melangkah keluar malam, sampai di depan pintu sejenak dia merasa ragu mendekati gubuk bambu dimana Budi sedang meniup sulingnya. Namun akhirnya dimantapkannya kakinya menuju gubuk yang diterangi lampu minyak itu.

Budi masih meneruskan lagu yang dimainkan sulingnya itu ketika Dika tiba dan duduk disampingnya. Kira-kira dua menit lagu itu berakhir. Budi meletakkan suling itu dipangkuannya.

"Sepertinya lagu itu sering kau mainkan lewat suling itu"

"Itu lagu yang sering dimainkan Permadi dulu, kau tau, suling ini juga miliknya" Budi menjawab perkataan Dika sambil memandang khidmat pada suling dipangkuannya, perbuatan Budi itu membuat Dika semakin bertanya-tanya sebenarnya apa hubungaan Budi dengan Permadi. Hmmm bisa juga ada cemburu di hati Dika.

"Kau masih marah padaku?" Tanya Dika

Budi diam saja, matanya menatap hampa pada kolam ikan nila di dekat gubuk itu.

"Aku minta maaf atas perbuatanku tadi sore. Aku kurang ajar, namun bukan maksudku melecehkanmu, semua itu ku lakukan karena aku...." Dika tergugup, mendadak mulutnya terkunci sesaat.

Budi memandang heran padanya karena penasaran akan kata-kata yang terputus itu, namun bukan Budi namanya jika tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Dengan masa bodoh dia menjawabnya.

"Lupakan saja! Aku hanya kaget seorang straight sepertimu bisa melakukan hal seperti itu. Perlu kau tau Dika, sekalipun aku gay bukan berarti aku suka meraba setiap tubuh laki-laki, apalagi jika pria itu hanyalah orang lain bagiku"

Bummmm, Dika merasa sakit mendengarnya.
"Jadi selama ini kau sudah menganggapku orang lain?" tanyanya dengan suara bergetar.

Budi diam sesaat namun kemudian dia mengangguk pelan. Dika terlonjak bangkit marah.

"Budi! Jika memang perasaanmu dulu padaku telah kau kubur maka sekalian saja kau kubur juga diriku, kau lihat ini Budi kau lihat tanganku ini" Dika menyingsingkan lengan kiri baju hangatnya lalu dibawah sinar lampu teplok itu di sodorkannya pergelangan tangan kirinya, dimana terdapat cacat bekas luka yang dijahit.

"Kau lihat cacat ditanganku ini Bud! Lihat! Bekas luka ini ada karena dulu aku hampir mati bunuh diri karena memikirkanmu" Dika tak tahan membendung kesedihannya, air mata mulai mentes.

Budi cuma terdiam dengan mata terpejam, dadanya bergetar karena perasaan yang bergejolak.

"Setelah perpisahan itu, setelah ku baca surat terakhirmu itu, malamnya aku hampir bunuh diri. Jika tau akhirnya begini, lebih baik aku mati. Kau tau apa salah satu alasanku menjadi backpacker ini? Semua karena masih ada harapan kecilku untuk menemukanmu. Teman masa SMP ku yang paling berharga! Dan sekarang setelah perjuangan beratku itu kau seenaknya saja mengatakan aku ini orang lain?" Dika mengeluarkan semua ledakan hatinya, dari dua matanya yang sedikit sipit itu mulai mengalir dua sungai kecil bernama air mata.

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang