Tiga tahun berlalu, sejak perpisahan itu Budi dan Dika tak lagi bertemu dan saling memberi kabar, Budi dan Dika gengsinya sama-sama besar, sama-sama keras kepala, hingga masalah yang seharusnya sepele itu sanggup memutuskan hubungan mereka sampai tiga tahun, bahkan mungkin akan berlanjut. Selama bertahun itu keduanya nyaris tak pernah bertegur sapa meski lewat telepon. Budi sendiri acuh, pasti Dika telah menikah dan merasakan nikmatnya berumah tangga bersama perempuan cantik pilihan mama, dan yang pastinya bukan barang bekas seperti dia.
***Pagi itu kampung Mekar Sari didatangi dua orang backpacker lagi, usia keduanya kira-kira 30 tahunan, seorang memiliki janggut tipis dan mungil, rambutnya gondrong melewati bahu sedangkan seorang lagi berkulit lebih gelap dan sedap dipandang. Kedua orang itu berjalan menelusuri jalan penghubung desa yang masih berupa bebatuan di antara jepitan hamparan sawah yang mulai menguning.
"Akhirnya aku kembali ke sini lagi, kira-kira apakah dia masih mau menyambutku? Apakah dia masih mau memaafkanku? Semua ini gara-gara mulutku yang tak punya rem ini" ucap seorang backpacker itu yang ternyata adalah Dika yang penampilannya urakan.
"Yakin saja Dik, optimis" ucap backpacker satunya lagi yang ternyata adalah Aris. Sampai di satu persimpangan mereka berpisah, Dika terus ke rumah Budi, sedangkan Aris menuju rumah Ki Slamet, Aris ingin meminta ramuan untuk menghilangkan penyakitnya, secara tak sengaja dia keracunan ilmu saat sedang berkunjung ke satu kampung pedalaman.
***Dika hampir dekat ke rumah panggung tujuannya, dari jarak belasan meter dia telah melihatnya, rumah panggung asri yang dikelilingi kolam ikan. Melihat rumah panggung itu dadanya berdebar-debar, semua kenangannya bersama Budi kembali hadir, kenangan manis, pahit dan menyeramkan telah dia rasakan bersama.
"Bud, apakah kau masih mau menerimaku? Aku kembali dengan membawa cinta, sebenarnya aku suka padamu apa adanya" ucap Dika dalam hati.Setelah memantapkan tekad, dia melangkah tegap, langkahnya terhenti ketika ada di depan tangga rumah panggung.
"Assalamualaikum" ucapnya lantang.Hari masih teramat pagi, mungkin pukul tujuh, atau paling telat setengah delapan.
"Assalamualaikum" Dika kembali mengulangi salam karena tak ada sahutan.
Kira-kira delapan detik kemudian terdengar satu suara langkah mungil diiringi gemerincing gelang kaki.
"kumcalam" satu suara mungil menyahut, satu wajah anak perempuan imut menggemaskan berusia tiga tahun menyembul dari atas rumah, melongok melihat pada Dika.Dika terperangah melihat anak kecil itu. Hatinya mulai menduga-duga anak siapa itu.
"Apa aku salah rumah? Tapi memang benar ini rumahnya, atau Budi telah pindah dan rumah ini ditempati orang lain?""Yah...ada oyang" ucap anak itu lucu dengan cadel. Meski heran namun Dika tersenyum geli juga melihat tingkah menggemaskan anak itu.
"Yahhhh ada oyang...yah..ayah..yah..ayah..ada oyang" ucap anak itu menjerit berulang kali dengan sedikit dinyanyikan, khas celotehan anak balita.
"Iya bentar sayang, ayah masih pakai baju tadi" satu suara menyahut.
Deggg, dada Dika berdebar, lututnya goyah seketika. Itu benar-benar suara Budi.
"Jadi, dia...dia sudah menikah" batin Dika terbata-bata. Terasa ada yang meremas jantungnya. Sakit sekali."Siapa sayang?" Tanya Budi sembari meraih tubuh anak perempuan itu dan menggendongnya. Seorang perempuan tua berbadan cukup gemuk mebgikutiny, Bik Inah.
Budi menatap tamunya, seketika jiwa raganya terhenyak. Dika dan dia saling menatap dengan pandangan saling menafsir bertanya-tanya.
"Ma..maaf, aku salah rumah" ucap Dika dengan menahan sesak di dadanya, orang yang dicintainya ternyata telah menikah dan memiliki anak tanpa sepengetahuannya. Tanpa tunggu jawaban Budi, Dika telah berlari pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)
أدب المراهقينDika dan Budi, dua musuh bebuyutan di masa SMP tak disangka menyimpan rahasia perasaan yang sama, namun konflik sepele khas anak ABG plus kejaiman dan ego masing-masing membuat mereka mengabaikan suara hati. Namun semua rasa itu kembali mengusik ket...