Ki Slamet

396 26 1
                                    

Seperti yang dijanjikan, sore itu Fatir mengajak Budi keliling desa, dengan meminjam sebuah motor tua milik tetangga, mereka berdua melaju melewati jalan berbatu dengan pemandangan sawah di kiri dan kanan, kira-kira setengah jam lebih mereka sudah mengunjungi semua tempat berpenghuni di desa itu.

"Fat, tau gak kalau di desa ini ada air terjun, letaknya lumayan jauh, melewati hutan sana" tunjuk Budi dari belakang jok motor ke arah hutan di mana dia pernah diajak Permadi mencari kayu bakar.

Fatir melirik ke arah hutan yang dilewati jalan yang belum beraspal, jangan kan aspal, batu saja tidak, jalan itu masih berupa tanah saja. Wajah Fatir sedikit berubah.

"Menarik, cuma hutan itu rada menyeramkan kalau dilihat, kapan-kapan saja kita kesana" cepat-cepat Fatir alihkan pandangannya, bahkan dia mempercepat gas motornya meninggalkan kawasan perbatasan desa dan hutan.

Budi yang sudah tau kalau Fatir seorang indigo memiliki dugaan kalau temannya itu melihat sesuatu.

"Fat, kau nampak sesuatu ya?" Tanyanya setelah motor cukup jauh meninggalkan tepi hutan.

"Oh enggak ah, aku ingat ada janji  mau menemui seseorang" elak Fatir, padahal sebenarnya dia tadi memang melihat sesuatu, yaitu penampakan sepasang orang tua yang berdiri di ujung jalan menuju hutan.
Tapi dia juga tidak bohong, karena dia memang ada janji menemui seorang kakek yang dianggap salah satu tetua kampung.

"Siapa?" Tanya Budi.

"Ki Slamet, kau sudah pernah ketemu?" Tanya Fatir pada Budi.

Budi menggeleng, jujur dia memang belum pernah bertemu orang tua yang bernama Ki Slamet.

"Siapa Ki Slamet?" Tanya Budi.

"Tetua kampung, dia dipercaya sebagai orang pintar yang punya kemampuan melihat hal-hal gaib" jawab Fatir.

"Ki Darso kali" celetuk Budi, karena Permadi pernah bilang ada dukun sakti yang tinggal menyepi di hutan itu.

"Bukan, Ki Slamet! Kalau Ki Darso itu kan dukun, nah kalau Ki Slamet ini orang pintar" ucap Fatir pula.

"Lah bedanya apa cuk?" Tanya Budi geli, karena baginya dua istilah itu sama-sama punya pengertian yang sama, yaitu dukun, alias paranormal.

"Bedalah, Ki Slamet itu kepandaiannya mengobati penyakit yang disebabkan hal-hal gaib, entah itu kesurupan atau kena santet, kalau dukun kebalikannya, yang ngirim santet" jelas Fatir.

Motor Supra tua itu membawa mereka masuk ke satu persimpangan yang banyak ditumbuhi pohon sawo. Tak lama kemudian mereka tiba di halaman sebuah rumah berpendopo khas seperti rumah tradisional suku Jawa.

Budi dan Fatir turun dari motor.

"Assalamualaikum" Fatir mengucapkan salam di depan rumah itu.

"Walaikumsalam" satu suara laki-laki tua menjawab. Sosok yang menjawab salampun keluar, seorang kakek kira-kira hampir 60 tahun usianya, rambutnya sudah mulai memutih, namun wajahnya masih terlihat belum berkeriput, hanya gigi depannya yang sudah ompong sebuah, dialah Ki Slamet, orang yang dihormati penduduk kampung karena memiliki kelebihan.

"Oh nak Fatir" ucap Kakek itu senang, sepertinya dia sudah begitu akrab dengan Fatir, Budi tak tahu temannya itu kenal dengan orang tua itu kapan.

"Monggo masuk, dan silahkan duduk" ajak Ki Slamet, mereka duduk di pendopo dengan beralaskan tikar, sesaat kemudian keluar istri Ki Slamet Nek Odah dengan membawa teh hangat dan juga sepiring kacang rebus.

"Silahkan dinikmati, kebetulan kacang di kebun sudah mulai bisa dipanen" sila Ki Slamet, sementara matanya menatap pada Budi lekat-lekat.

Dipandangi serinci itu membuat Budi mau tak mau jadi tak enak dan salah tingkah.

"Kenalin Ki, ini Budi, teman yang saya ceritakan kemarin" Fatir memperkenalkan Budi pada Ki Slamet.

"Hmmm, pantas saja, temanmu ini punya kharisma yang disukai makhluk-makhluk itu" ucap Ki Slamet, dia ulurkan tangannya.

Budi sendiri entah mengapa jadi merasa berdebar-debar, dia menyambut uluran tangan itu, menjabat sekaligus menciumnya. Saat itulah Ki Slamet menepuk-nepuk pundak Budi. Tiap tepukan tangan Ki Slamet entah mengapa terasa begitu berat, tidak sakit tapi cukup membuat tubuhnya bergetar.

"Nyai, tolong ambilkan beras kuning dan air putih" Ki Slamet berseru pada Nek Odah, istrinya yang tengah berada di dalam rumah.

Tak lama kemudian Nek Odah datang membawa nampan berisi satu piring kecil berisi beras kuning, segelas air putih, lalu ada juga sebuah sendok berwarna keemasan, entah dari emas asli atau hanya Kuningan.

"Ke sini nak" panggil Ki Slamet pada Budi, Budi merasakan denyut jantungnya mulai tak nyaman. Namun dia mendekat juga. Ki Slamet menjumput lima butir beras kuning, mulutnya komat-kamit membaca rapalan, lalu meniup kearah lima butir beras di tangan kanannya.

Budi sendiri seketika merasakan tubuhnya seperti mematung laksana batu, tak dapat digerakkan. Ki Slamet tempelkan lima butir beras itu ke dahi diantara kedua matanya, hingga kini kening itu berhiaskan lima butir beras yang disusun laksana bintang.

Budi merasakan tubuhnya mulai memanas. Hingga tanpa sadar dari mulutnya keluar suara gerungan. Fatir sendiri cuma menyaksikan dari jarak yang aman, tidak terlalu jauh karena dia ingin segera dapat memberi pertolongan kepada Budi kalau terjadi sesuatu yang membahayakan.

"Siapa kau?" Tanya Ki Slamet dengan intonasi yang aneh.

"Herrmmmm hermmm" Budi tak dapat bersuara, karena mulutnya seakan terkancing dan lidahnya kelu, dia hanya dapat menggerung.

Ki Slamet cepat meraih kedua tangan Budi, lalu menekan masing-masing kedua tangan itu tepat di titik antara jempol dan jari telunjuk. Seketika tubuh Budi tersentak lalu kelojotan, kedua matanya mendelik mengerikan, hingga yang terlihat nyaris hanya bagian putihnya, Budi lepas kendali dari alam sadarnya.

"Katakan, siapa kau? Kenapa mengikuti pemuda ini?" Suara Ki Sukri membentak. Nek Odah istrinya mengintip dari balik tirai jendela. Fatir sendiri memperhatikan dengan dada berdebar-debar, hatinya berdoa demi keselamatan temannya.

"Ampunn Ki, armmmm panas ampunnn biarkan aku pergi" tiba-tiba dari mulut Budi keluar suara jeritan, namun bukan suara jeritan laki-laki melainkan perempuan.

"Jelaskan dulu kau siapa?" Perintah Ki Sukri, sembari semakin menekan tangannya yang menekan titik diantara jempol dan telunjuk kedua tangan Budi

"Ampun! Sakit sekali, iya Ki, ampun, aku aku Dorojalu Ki" suara perempuan ghaib yang merasuk dalam tubuh Budi menjawab.

"Dari mana asalmu, siapa yang menyuruhmu?"

"Aku, aku berasal dari hutan Ki, dari pohon randu besar disana, aku peliharaannya Wati, Ki, dia menyuruhku untuk memikat pemuda ini" jelas makhluk yang bernama Dorojalu itu.

"Kenapa?" tanya Ki Slamet lagi.

"Wati suka sama pemuda ini Ki, dan aku aku juga suka padanya" jawab Dorojalu lagi.

"Hemm dengar Dorojalu, kau dan pemuda itu berasal dari dunia yang berbeda, tak sepantasnya kau menyukai dan menginginkannya, Gusti Allah memurkainya, sekarang keluar dari tubuh pemuda itu, jangan mengusiknya lagi"

"Tidak bisa Ki, nanti saya dimarahi majikan saya Ki, tolong mengerti keadaanku Ki" ucap Perempuan Dorojalu itu.

"Kau tak usah khawatir Dorojalu, aku akan membebaskanmu dari mantera pengikatmu dengan majikanmu, sekarang kau mau kan menjauhi dan tidak mengganggu pemuda ini lagi?" Tanya Ki Slamet.

"Mau Ki, aku berjanji tak akan mengganggu pemuda itu lagi" ucap Dorojalu.

Ki Slamet segera lepaskan pijatannya di telapak tangan Budi, dia cepat meraih gelas berisi air putih, memasukkan beberapa butir beras kuning ke dalamnya, lalu mengaduknya dengan sendok emas sembari membaca doa. Setelah selesai enak saja air itu diguyurkan ke kepala Budi, tepat diatas ubun-ubunnya.

"Argghhh" jeritan Dorojalu keluar dahsyat, bersamaan dengan itu ada sosok samar berwujud perempuan cantik namun berwajah teramat pucat menyeruak keluar dari tubuh Budi. Sosok itu segera melayang pergi,dari kejauhan terdengar suara tawanya cekikikan, sementara itu untuk sesaat bau bunga kantil tercium santar.

"Brukk" Tubuh Budi ambruk seketika.

Fatir cepat meraihnya.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang