Bukan Seorang Banci

1.6K 84 1
                                    

"Bagaimana Dika? Kapan kau siap?" celetuk ayahnya di minggu pagi yang cerah itu di depan rumah sambil membaca koran.

"Siap apanya Pak?"

"Kau ini? Bukankah kau bilang akan memikirkan hubunganmu dengan Dian, nah bagaimana? Apa kau mau terus-terusan menggantung hubungan kalian?"

Dika menelan ludahnya yang terasa berat.

"Dika masih ingin menuntaskan mimpi Dika, Pak"
"Mimpi apa?" Tanya Ayahnya mulai gusar.

"Keliling Indonesia bahkan dunia" celetuk Dika.

"Brak!" terdengar Ayah Dika membantingkan korannya ke atas meja.

"Pokoknya kalau kau tidak segera bertunangan, kau tidak boleh kemana-mana" ucap ayahnya garang.
Dika terdiam. Sedangkan ayahnya langsung masuk ke dalam rumah.

Dika rasakan mumet
"Tunangan! Tunangan! Ngebet amat bapak satu ini sama si Dian. Kenapa bukan dia saja yang kawin sama si Dian. Aku gak keberatan punya mama muda"
Dika memaki sendiri, saat tengah kacau itu tiba-tiba hp nya berdering dan bergetar, Dika merogoh-rogoh ponselnya dari kantong.
Ada panggilan dari Aris.

"Apaan lu, pagi-pagi nge call gue?, bikin geli burungku saja!"

"Lah apa hubungannya coba?"

"Hp ku bergetar di dalam celana, getarannya mengusik pistolku"

Aris tertawa ngakak.
"Salah sendiri gak pake sempak, ya udah coli dulu sana!"

"Anjir" maki Dika.

"Eh Dik, udah dapat kabar belum?"

"Kabar apa?"

"Lah katanya lu temannya? Si Budi udah 4 hari sakit aneh" ucap Aris.

Blammmm... Jantung Dika serasa pecah mendengarnya.
"Sakit apaan?" Tanya Dika belagak cuek padahal mah, hatinya mulai cemas dan merasa tidak enak.

"Gak tau, kata Bi Inah waktu ku telpon, Mas Budi sakit kayak demam gitu, sering bengong" jelas Aris.

"Mikirin pacarnya mungkin" ucap Dika masih belagak cuek.

"Mungkin juga!" ucap Aris.

Sial jawaban Aris itu malah membuat hati Dika menciut. Dika terdiam.

"Bi Inah bilang ketika ku telpon Mas Budi udah dibawa ke rumah sakit tapi kata dokter tidak ada  masalah. Mas Budi sudah seperti orang gila, bengong dan melamun terus"

"Tut" Dika menutup telepon, gejolak hatinya mendadak tidak menentu, cepat dia masuk ke kamar, membuka lemari dan meraih baju sepengambilan tangannya dan memasukkannya ke ransel. Begitu selesai dia siap berhambur keluar rumah. Namun ayahnya cepat menghadang.

"Mau kemana?"

"Mau tempat teman, nginap disana!"

"Tidak boleh, kan sudah bapak bilang kau tidak boleh kemana-mana"

"Plissss Pa"

"Papa ijinkan, asal kau berjanji, pulang dari sana, kau mau bertunangan dengan Dian"

Dika terdiam, pikirannya mendadak mumet dilanda dilema. Antara pergi atau tidak. Namun bayang-bayang Budi semakin menghantuinya membuat rasa cemasnya semakin hebat.
***

Di dalam mobil itu hanya ada Dika dan Aris. Kali ini Arif tidak mau diajak jalan lagi ke Mekarsari, alasannya bosan dan sudah pernah.
Aris sendiri heran, karena biasanya Dika yang selalu jenaka itu lebih banyak diam sambil mengemudi. Bahkan kali ini sedikit ngebut.

"Hati-hati Dika!"

"Biar cepat sampai"

"Iya cepat sampai ke liang kubur"

"Berisik kau!"

"Cemas sih cemas, tapi ini sudah hampir tengah malam, mending kita istirahat dulu"

"Budi lagi dalam bahaya" ucap Dika keras sambil mengerem mobilnya karena mendadak matanya melihat ada ular sanca besar melintas di depan jalan.

"Pertanda buruk" ucap Aris sambil mengelus dadanya.

"Buruk apa?" tanya Dika sambil melirik temannya.

"Kata orang tua-tua dulu kalau jalan kita di hadang ular, kita disarankan balik saja, ada bahaya"

"Bahaya? Bagus! Aku suka yang bahaya-bahaya" ucap Dika sambil menginjak gasnya bertepatan dengan ular yang telah selesai menyebrang.

"Huh sombong. Cinta sih cinta, tapi jangan palah sampai gila" celetuk Aris.

"Cittttt" Dika kembali menginjak remnya kuat-kuat.
Dadanya bergemuruh hebat, diliriknya Aris yang tampak cuek-cuek saja duduk di sebelahnya sambil bersiul kecil.

"Apa mungkin Aris tau perasaanku?" Dika bergumam dalam hati.

"Kok berhenti? Katanya mau ngebut, biar cepat sampai" ucap Aris menantang.

"Ris, jelaskan! Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Dika dengan suara bergetar.

"Kenapa? Udahlah Dika, ngapain berpura-pura bego sih? Aku tau sejak di desa itu ada yang tidak lazim antara persahabatanmu dengan mas Budi, kau suka sama dia kan?" tembak Aris secara langsung.

Dika tergagap lalu membisu. Ditariknya nafas lalu dihembuskan dengan kasar, dan sesuatu yang bening menetes disana.
"Ris, maaf jika aku bukan sahabat seperti yang kau harapkan. Aku! Aku cacat Ris, aku memang gila, aku memang suka padanya Ris. Maaf Ris jika temanmu ini seorang banci" Dika mulai menangis.

Aris terdiam melihat temannya yang mendadak melankolis, sungguh tak ada maksud hatinya membuat Dika kaget dan down begitu. Dika yang senantiasa bersikap tangguh dan keras itu nyaris tak pernah menangis di depannya.

"Dika, tidak ada yang bilang kau bencong ataupun banci. Bagiku kau laki-laki paling tangguh yang pernah ku lihat. Aku tak perduli kau gay atau tidak? Kau cinta sama cewek atau cowok, bagiku tak ada masalah"

Dika terpekur mendengar ucapan temannya itu.

Aris kembali membuka mulut menambahi kata-katanya barusan.
"Jika kau jatuh cinta pada seorang pria bukan berarti kau itu seorang banci. Dik, kita bertemanan udah lama, sejak SMA, mulai dari jembut baru lima helai sampai jembut ubanan"

"Sialan kau, buluku masih hitam. Lu itu yang udah ubanan" potong Dika sambil mengusap air matanya, ada senyum kecil dibibirnya.
Aris langsung ngakak.

"Nah, ini baru Dika temanku" ucap Aris sambil menepuk bahu Dika.

"Dika, apapun dirimu, apapun keyakinanmu, apapun cintamu, tak masalah bagiku, bahkan aku janji, jika kelak ada yang menjauhi dan menghinamu hanya karena kau seorang gay, aku akan jadi orang pertama yang akan membunuhnya. Kau harus ingat, aku ini sahabat sejatimu" ucapan Aris itu laksana tetes hujan di musim kemarau, sejuk dan mendamaikan gejolak hati Dika. Dika melepas sabuk pengamannya, lalu dipeluknya Aris penuh kehangatan.

"Makasih Ris, kau adalah sahabat terbaikku!"

"Ya sudah ayo, lanjut jalan! Kita jemput calon istrimu itu" kelakar Aris.
Dika meninju kecil dada Aris, kembali dipasangnya sabuk pengaman. Mobil itu kembali berjalan.

"Kalau nanti ada masjid atau tempat untuk istirahat, kita berhenti sebentar" jelas Dika.
Aris cuma mengangguk menyetujui.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang