Kecebur Kolam

3K 158 2
                                    

Malam mulai merangkak jauh, Aris dan Arif sudah ngorok di kamar, hanya Dika yang belum tertidur karena sibuk menulis di buku harian catatan seputar perjalanannya yang akan dijadikan konten bolgnya. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Saat itulah sayup-sayup dia mendengar suara tiupan seruling yang merdu dan indah.
Dika tertarik mendengar itu lalu dibukanya jendela. Suasana malam cukup terang di bawah purnama. Di sana di sebuah gubuk bambu tanpa dinding di tepi kolam, Budi tengah meniup suling.
Dika tersenyum menyaksikannya, cepat-cepat dia berlari keluar rumah menuju halaman, menjejak benteng-benteng kolam.

"Hati-hati nanti kepeleset" terdengar suara Budi memperingatkan.

Dika sampai di gubuk itu, duduk disebelah Budi.
"Kenapa berhenti main sulingnya?"

"Ah tadi cuma nyoba saja, sudah lama tidak main suling" Ucap Budi.

"Aku baru tau kalau kau bisa main suling" kata Dika sambil melirik suling di tangan Budi.

"Ya, aku juga belajar suling di desa ini"

"Nah iya, aku penasaran kenapa kau bisa tinggal di kampung terpencil ini?" Dika akhirnya menanyakan hal yang sedari tadi disimpannya.

"Aku kenal kampung ini karena jadi tempat PKL ku dulu. Kau tau, aku langsung jatuh cinta dengan desa ini, dengan keramahan orang-orangnya, juga dengan suasananya yang sederhana namun tentram. Begitu lulus aku langsung menabung cari uang buat buka usaha di sini, tak lama kemudian, ayahku meninggal, aku dapat tanah warisan yang lumayan, lalu kujual ke abangku sendiri. Nah itu jadi modalku disini, mula-mula aku buka kedai sambil beternak ikan, ayam dan beberapa kambing.  Makin lama usahaku makin maju, banyak rumah-rumah makan di kota yang pesan ikan padaku, lalu karena sibuk aku berhenti berkedai sebagai gantinya sedikit demi sedikit aku beli beberapa petak sawah yang diurus oleh orang upahanku" Budi menjelaskan secara singkat riwayat hidupnya dikampung itu.

Dika bertepuk tangan dan bersiul memberikan pujian.
"Wah kau benar-benar brilian memanfaatkan peluang" kagum Dika.

"Kau sendiri bagaimana?"

"Seperti yang kaulihat, luntang-lantung kesana kemari. Cocok seperti yang kau bilang tadi siang: Berantakan" celoteh Dika.

Budi tertawa mendengar Dika, ditatapnya wajah teman SMP nya itu.
"Sebenarnya, walau berantakan kau masih terlihat ganteng kok, oh iya kudengar kau sudah sarjana komputer"

"Apalah artinya gelar sarjana itu, aku lebih suka hidup seperti ini, aku tak betah jika cuma nongkrong di balik komputer, aku ingin berkelana hingga ke ujung dunia"

"Enak ya? Kau bisa bebas terbang ke sana kemari, sudah berapa tempat yang kau datangi?"

"Waduh, banyak bro, gak kehitung, hutan, danau, sungai, bukit ah pokoknya banyak!"

Budi mengangguk mengerti, lalu suasana hening. Tak lama kemudian Budi merapatkan suling bambu itu lagi ke mulutnya, memainkan sebuah lagu yang Dika tak tau, namun terasa syahdu di dengar.
Suasana gubuk yang temaram dan hanya diterangi lampu teplok menambah indah suasana. Saat itulah Dika kembali merasakan debar di hatinya.

"Ya Tuhan, perasaan ini muncul lagi" batin Dika.

Suara suling berhenti, Budi menurunkan suling itu dari bibirnya. Ketika dia menatap Dika, temannya itu langsung memegang tangannya.

"Bud, aku minta maaf, dulu ketika sekolah aku terlalu sering membully mu, jujur ketika perpisahan sekolah, aku ingin meminta maaf padamu, tapi malangnya hari itu kau tidak hadir, katanya kau sedang di kampung nenekmu"

"Oh, waktu itu nenek ku meninggal dunia, jadi aku tidak sekolah, lagipula aku sudah tak mengingat hal itu lagi. Aku sudah memaafkanmu" jawab Budi.

Tiba-tiba Dika langsung memeluknya.
"Tapi sungguh, jika diingat aku sangat keterlaluan padamu, aku minta maaf, aku telah membuat masa SMP mu berubah buruk"

"Sudahlah Dik, kita sekarang sama dewasa, tak perlu lagi bertingkah kayak anak kecil, hei kenapa pasang wajah sedih begitu, ingat umur!"  Budi menghibur Dika.

"Sudah malam, Dik, ayo ke rumah, waktunya tidur"

Keduanya meninggalkan gubuk itu, mereka melangkah beriringan melewati benteng tepi kolam, suasana yang temaram membuat mereka melangkah perlahan-lahan. Tiba-tiba Dika merasa ada sesuatu yang  lunak dan dingin menyentuh kakinya di bawah sana. Segera dilihatnya.
"Huaaaa??? Kodok" Dika langsung melompat ke punggung Budi, sialnya Budi yang tidak siap menerima langsung saja oleng tak dapat mengimbangi diri.

"Byuurrrrr" keduanya amblas nyebur ke kolam ikan.
***

Di sumur belakang rumah, Dika dan Budi tertawa ngakak mengingat kesialan mereka tadi.

"Huh, ngakunya petualang, sama kodok aja takut"

"Kalau serigala, harimau aku tidak takut, tapi kalau kodok? Iiihhhhh jijik" Dika menggeletarkan tubuhnya bergidik geli.

Tubuh keduanya basah dan kotor oleh air kolam dan lumpur, baju mereka turut pula kotor. Sumur di kamar mandi hanya diterangi lampu teplok kalau malam, namun cukup untuk menerangi mereka.
Budi wajahnya penuh lumpur dan rumput kering, rambutnya juga tampak dihinggapi lumut, begitu juga Dika.

"Malam ini kau seperti badut" ucap Dika.

"Kau sendiri seperti orang-orangan sawah" Maki Budi pula. Tanpa aba-aba keduanya langsung menanggalkan pakaian masing-masing hingga bugil. Budi di depan menimba air. Dika mulai menguyur tubuhnya dengan air, sesekali matanya melirik Budi yang bertelanjang menimba air.

"Anjir, dulu dia kerempeng, sekarang, meski tak kekar-kekar amat, tapi berotot, bahunya lebar, perutnya kokoh, pahanya ya ampun, mulus kuning langsat, bokong nya padat. Anjing, mikir apa gue" Dika mendadak gelisah sendiri, ketika Budi mulai mengguyur badannya saat itulah matanya menyaksikan kejantanan milik Budi.

"Buset" Dika menelan ludah merasakan darahnya menggelegak. Dan sesuatu di bawah perutnya sana perlahan-lahan bangkit.

"Anjing, bangkit pula kontilku ini, selama ini walau bugil-bugilan sama si kembar aku gak pernah tegang, tapi sama dia? Sial!" Cepat Dika membalikkan tubuh takut ketahuan sedang ereksi, beruntungnya Budi tidak memperhatikannya.

Selesai mandi mereka berjalan bugil cepat-cepat ke dalam rumah melalui pintu dapur, mereka menuju kamar Budi, dari dalam lemari Budi melemparkan satu handuk ke Dika, cepat sekali Dika membersihkan air yang masih menetes di tubuhnya, Budi lakukan hal yang sama, lalu handuk dililitkan ke pinggang masing-masing.
"Hmmmm kejadian tadi jangan diceritakan ke si kembar ya?" pinta Budi.

"Oke, aku bisa jaga rahasia" Jawab Dika dengan dada bergetar, kedua tangannya di tekapkan ke bawah perutnya yang masih semi ngaceng.  Budi bukan tak tau itu,
"Buruan sana ke kamarmu, pakai baju, kasihan burungmu kejepit mulu" Budi tertawa geli.

"Sialan! Habisnya pahamu bening kaya paha cewek"

Budi cuek saja, dan mulai memakai pakaiannya, Dika belum beranjak, diperhatikannya kamar Budi dengan seksama, satu foto berhasil mencuri perhatiannya. Dia mendekati foto itu, disana tampak gambar Budi duduk beralas rumput membaca buku dibawah pohon kayu, sedangkan disampingnya tampak seorang pria berpakaian kampung tengah meniup suling diatas punggung seekor kerbau yang merumput.

"Nice!" ucap Dika. Mau tak mau Budi mendekati, tampak senyum melukis bibirnya
"Dia temanku, namanya Permadi, dia yang mengajariku main suling"

"Ooo dimana dia? Apa masih di kampung ini?"

"Dia sudah tiada" jawab Budi hambar.
Dika merasa ada kesedihan terpancar dari suara itu.

"Dia kecelakaan terserempet truk saat pulang mengunjungi pamannya di kota" suara itu tak lagi lancar karena bernada getir. Budi tampak tertegun dengan pikiran mengenang sahabatnya yang telah pergi itu, benar-benar memilukan. Cepat Dika memeluknya, membenamkan wajah itu kedalam hangat dadanya.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang