Kilas Balik

1K 48 1
                                    

Budi telah selesai mandi, kini dia duduk di tepi ranjang hanya mengenakan handuk, masih di rumah Bik Inah. 

"Heran, kemana aja si Reno? Disuruh ngambilkan baju aja lama amat" Budi menggerutu sendiri. Sudah hampir setengah jam Reno belum kembali juga.

Ketika dia putus asa dan ingin memakai pakaian kotornya lagi, saat itulah Reno masuk.

"Maaf mas kelamaan" Jawab Reno dengan ekpresi yang aneh, karuan saja Budi langsung menatap tajam padanya. Dipandangi seperti itu Reno semakin salah tingkah.

"Lama amat Ren, kau mengambil pakaianku ke rumahku apa ke istana presiden?" Sindir Budi lagi. Segera dia bangkit dari ranjang lalu mengambil kantong plastik di tangan Reno yang berisikan pakaiannya.

"Sekali lagi maaf mas" Jawab Reno pula.

"Ya sudah, lain kali kalau disuruh segera dikerjakan. Sana kau pulang dulu, mandi yang bersih. Bau badanmu aneh" Ucap Budi sambil mengusap hidungnya, memang saat itu bau aneh menyeruak dari tubuh Reno, bau asem keringat dan disertai bau amis membuat siapapun yang menciumnya tidak nyaman.

"Anu mas tadi habis berlari-lari soalnya" Reno memberi alasan akan bau badannya yang kurang sedap.

"Kalau kau berlari gak akan lama sekali mengambil pakaiannya" Tukas Budi cepat. Budi tak peduli lagi pada Reno, baginya Reno hanyalah anak ABG yang rada lambat mikir. Dengan cuek Budi melepas handuknya, kini masih disaksikan Reno, Budi tegak bertelanjang bulat di sana lalu sibuk membuka kresek untuk mencari pakaian dan memakainya.

"Glekkk" Reno menelan ludah tatkala melihat majikannya itu telanjang bulat, otaknya langsung berfantasi entah kemana-mana, apalagi sebelumnya dia baru saja dapat pengalaman hebat 'dihajar kontol Jepri'.

"Besarnya, lebih besar dari punya Mas Jepri. Banyak bulunya juga, gak kayak mas Jepri yang kontolnya botak" Tuhkan, otak bocah ini mulai tercemar, dia berfantasi dan berkata-kata dalam hati sambil memelototi kelamin besar milik Budi.

"Eh Ren, kenapa masih di sini?" Tegur Budi yang baru saja selesai menaikkan sempaknya ke pangkal paha. Kelaminnya yang menggiurkan itu langsung terbungkus segitiga pengaman berwarna abu-abu, namun tetap saja, karena ukurannya, jendolan itu terpampang nyata.

"I...iya mas nih Reno pulang" Ucap Reno gugup, lalu dengan dada berdebar dia balikkan tubuh ingin pergi.

"Jangan lupa, nanti bantu Jepri ngerjain sawah"

"Iya mas" Sahut Reno.

Budi pun selesai berpakaian, dia berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sambil merenung.
"Benarkah ini aku? Budi yang dikenal baik oleh semua orang ternyata telah berzinah berkali-kali?" Tak henti-hentinya dia merutuki diri mengingat kelakuannya bersama Wati.

"Ya Tuhan, dosaku sudah terlampau banyak, menjadi gay saja sudah membuatku merasa terkutuk, apalagi kelak kalau Wati hamil dan menuntut tanggung jawab? Lagian Budi, kau itu Gay, kenapa bisa tidur dengan seorang perempuan, janda lagi. Kau tak sayang melepaskan perjakamu buat Wati? Perjaka?" Budi tersenyum kecil tatkala hatinya membahas perjaka.

"Benarkah aku masih perjaka, bukankah dulu semua telah kuberikan pada Permadi" Budi terdiam. Bayang-bayang pemuda desa bersahaja bernama Permadi langsung menghias lubuk hatinya.

"Ah Madi, maafkan aku telah melanggar janji. Aku kangen kau Madi, kangen sekali" Budi mendesah kecil lalu diapun hempaskan tubuhnya diatas ranjang dan tenggelam dalam sejuta kenangannya bersama Permadi.

"Tok tok tok" Pintu diketuk seseorang, lalu tanpa menunggu jawaban orang yang mengetuk langsung masuk ke kamar, dia adalah Dika, si gondrong bertampang ganteng itu. Pemuda itu keheranan melihat Budi berbaring melamun dengan mata menatap kosong ke langit-langit kamar.

Dika pun mendekati Budi yang tak sadar akan kehadirannya.

"Bud.. Budi" Tegur Dika. Tak ada reaksi, Dika pun memanggil nama itu lagi sambil menepuk pundak Budi.

"Hah... Permadi?" Keceplosan, Budi keceplosan menyebut nama itu.

Wajah Dika langsung berubah. 'Ternyata bukan aku yang dipikirkannya' keluh Dika kecewa di dalam hati.

"Maaf Dik, kupikir tadi..." Ucapan Budi langsung dipotong Dika.

"Permadi kan? Ku pikir aku hantu si Permadi? Orang mati gak mungkin hidup lagi" Ucap Dika jengkel.

"Permadi gak pernah mati, dia hidup di sini, di hatiku" Ucap Budi sambil menunjuk dada kanannya dimana jantungnya berdetak. Budi pun bangkit dan duduk di tepi ranjang, Dika ikut menghempaskan pantatmya diatas ranjang itu

"Karena dia pacarmu kan?" Tanya Dika sambil melirik.

Budi juga ikut melirik pula, membuat keempat mata mereka saling bertemu. Dika rasakan dadanya bergemuruh hebat, jujur dia masih menyayangi Budi, walau kini didapatinya Budi nya tak lagi seperti saat mereka masih duduk di bangku SMP.

Sementara Budi sendiri kembali rasakan dadanya berdegup, debaran yang sama seperti yang dulu dirasakannya pada teman SMP nya itu. Tapi ah entahlah, Budi sendiri tidak tau harus bersikap bagaimana sekarang kepada Dika, di satu sisi dia masih memendam cinta pertama, di satu sisi dia merasa sudah berkhianat, di satu sisi yang lain juga dia sudah pernah mengucapkan janji pada Permadi sebelum pemuda itu meninggal dunia.

Budi akhirnya tersenyum, di pelupuk matanya seolah-olah dia melihat kehadiran Permadi.

"Kau tau Dik, setelah dulu aku berhasil move on dari mu, aku jera buat jatuh cinta, ku pasang tembok tebal nan kokoh di dalam hatiku untuk mencegah  luka yang sama yang permah kudapatkan darimu. Aku cuma fokus buat belajar hingga ke bangku kuliah. Dari perkuliahan itu juga akhirnya aku mengenal desa ini, aku KKN disini, sebagai mahasiswa pertanian, ku habiskan 2 bulan buat belajar banyak kepada para petani di desa ini. Dan di kampung ini pula aku bertemu dengannya, seorang pemuda desa yang berhasil membobol hancur tembok tebal itu. Semua itu bermula tatkala kulihat ada bias asmara di bola matanya ketika kami bertemu"
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang