Ritual

373 25 1
                                    

Malam mulai beranjak, suara serangga malam sesekali di selingi lolongan anjing dan suara burung hantu, membuat suasana di rumah Ki Darso benar-benar mencekam.
Jessy semakin merapatkan tubuhnya dengan Wati karena dicekam gelisah. Sementara di hadapan mereka Mbah Darso sibuk melakukan rapalan sembari menaburkan dupa ke dalam bara, bau harum kemenyan tercium semerbak.

Ketiga orang itu tengah duduk beralas tikar pandan besar yang sudah butut di halaman belakang rumah. Ketiganya duduk berhadapan dengan nampan berisi beragam sesaji dan pendupaan ada diantara mereka. Tak lama kemudian Putera muncul dengan memakai pakaian mirip rakyat kerajaan kuno, bertelanjang dada dengan bawahan balutan kain berwarna merah, di kening kepalanya juga diikat kain berwarna merah. Laki-laki belia ini membawa sebuah bejana berisi air kembang tujuh rupa.

Melihat sosok berondong setengah telanjang itu, rasa takut Jessy sedikit memudar, kini matanya memelototi tubuh segar itu.
"Ya ampun, meski masih onces aku yakin sekali anunya gedong" batin Jessy dengan mata menatap selangkangan Piteray.

Putera bukan tak tau dipelototi secara nafsu, namun dia bisa apa? Paling cuma melengos kesal.

"Sudah bisa dimulai Mbah?" Tanya Putera pada kakeknya.

Mbah Darso hentikan bacaan mantranya, kakek tua ini mengangguk. Dia mengangkat pendupaan dan mengelilingkannya ke Putera sebanyak tujuh putaran.

Pandangan Mbah Darso kini tertuju pada Wati dan Jessy.

"Kalian berdua, tanggalkan seluruh pakaian kalian!" Perintahnya tanpa basa-basi.

"Hah apa?" Seru Wati kaget, semntara Jessy melongo tak percaya.

"Niatmu bulat atau tidak? Jangan buang-buang waktu dan jangan main-main denganku!" Bentak Mbah Darso.

"I..i..iya Mbah!" Jawab Wati gugup, perempuan ini akhirnya mulai preteli pakaiannya. Jessy mau tak mau ikuti juga. Wati kini telah duduk bersila dalam keadaan telanjang sembari palangkan kedua tangan menutupi dada.

Jessy sendiri kalang kabut menahan malu, karena dadanya yang kelihatan montok sebelumnya kini terlihat aslinya, rata dan sedikit berbulu karena nyatanya banci satu ini melapisi kutangnya dengan kain agar lebih menonjol. Belum lagi selangkangannya yang dihiasi kelamin mungil nyaris sebesar pisang mas Banten muda.

Putera yang melihatnya karuan saja ngakak sejadi-jadinya.

"Heh brondong jahil! Beraninya kau mentertawakan ku? Awas aja! Kentimu nanti ku sedot!" Geram Jessy yang telah menutupi kelaminnya dengan tangannya.

Putera hentikan tawanya, hanya saja mulutnya masih mencibir mengejek.

Wati dan Jessy terperangah karena tiba-tiba saja sosok Mbah Darso di hadapan mereka juga telah dalam keadaan bugil.

"Sekarang mulai Putera! Lakukan tarian pemanggil arwah!" Perintah Ki Darso.

Wajah Putera mendadak berubah serius. Tiba-tiba saja dia mulai melakukan gerakan tarian aneh, terkadang gerakannya halus dan lembut dan terkadang berubah brutal dan kasar, bau kemenyan semakin santar dan tiba-tiba saja angin bertiup semilir, Jessy dan Wati menggigil. Sedangkan sosok Putera laksana kesurupun mulai percepat gerakan tariannya. Mendadak secara aneh ditempat itu mulai terdengar suara gesekan rebab dan gamelan mengiringi gerak tarian Putera. Gemerincing lonceng gelang kaki di kedua kakinya bersatu dengan suara gamelan misterius itu.

Wati dan Jessy semakin merinding, apalagi lapat-lapat dari mulut Ki Darso mulai keluar senandung nyanyian. Dan wusstt.

"Aaaa mati aku!" Teriak Jessy ketakutan, dia ingin melompat kabur namun pantatnya seolah tertempel erat diatas tikar.

"Putus jantungku!" Wati sendiri mengeluh dalam hati, dia pejamkan matanya karena kaget melihat pemandangan yang mendadak muncul disana.

Tepat di depan mereka mendadak muncul empat sosok makhluk seram luar biasa, berkulit hijau dan bermata merah dengan taring mencuat dari dalam mulut masing-masing. Kuku mereka panjang mirip cakar, makhluk itu hanya mengenakan cawat.

Keempat makhluk itu ikut menari-nari bersama Putera. Bahkan keempatnya semakin asik hingga salah satu dari mereka menarik lepas kain merah penutup tubuh bawah remaja pria itu. Kini Putera sama seperti mereka menari dalam keadaan bugil. Kalau saja tidak ada empat setan hijau itu, pasti Jessy sudah leletkan lidah menahan nafsu, namun berhubung disana ada makhluk gaib , Jessy tak berani gegabah.

"Cukup!" Suara Mbah Darso berseru.

Mendadak suara gamelan berhenti, dan brukkk tubuh Putera tergeletak jatuh pingsan.

Empat makhluk angker itu menggembor marah karena hiburan mereka terhenti, keempatnya kini melangkah ke arah Wati dan Jessy. Karuan saja keduanya menjerit sejadi-jadinya.

"Empat Butho, tahan! Bukan mereka mangsa kalian! Tapi ini" entah dari mana dapatnya, tiba-tiba Ki Darso lemparkan empat bangkai ayam kampung berwarna putih. Empat ayam kampung yang telah dibaluri dengan mani milik Putera yang tadi siang di tampung Ki Darso.

Empat Butho keluarkan suara tawa terbahak, dari mulut mereka keluar bau amis dan busuk luar biasa.  Wati dan Jessy tak tahan hingga akhirnya termuntah-muntah.

Empat Butho laksana serigala kelaparan melahap, berebut empat bangkai ayam putih dan memakannya bulat-bulat.

Mbah Darso tersungging puas, setelah dilihatnya empat Butho itu mulai tenang dia pun berkata memberi perintah.

"Sekarang kalian bekerja untukku! Tugas kalian pergi ke kampung mekar sari di sebelah hutan, cari pemuda bernama Budi, pemuda yang pernah terkena sihir peletku. Lalu kalian tangkap arwah gentayangan yang menjaganya. Seret arwah itu ke sini! Aku mau melihat tampangnya!"

"Baik Ki! Hahahaha" selesai tertawa keempat makhluk ghaib itu pupus dari sana.

Jessy dan Wati hembuskan nafas lega.

Ki Darso melangkah mendekati sosok Putera yang pingsan, kakek ini pun menggendong tubuh cucunya itu dan membawanya ke dalam gubuk.

"Kalian jangan coba-coba bangkit dari tikar itu! Tetaplah telanjang sampai upacara kita selesai!" Perintah Ki Darso sebelum sosoknya masuk ke dalam gubuk.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang