Ukur-Ukuran

561 27 1
                                    

Sejak kejadian di lapangan voli itu Permadi mulai jaga jarak dari Budi, bahkan cenderung menghindar jika bertemu, termasuk ketika Budi dan teman-temannya ke sawah membantu para Petani. Budi sendiri tak tahu alasannya apa, mungkinkah pemuda itu kesal karena Wati mendekatinya. Lantas Budi bisa apa? Mengusir Wati. Lalu kenapa Permadi harus ngambek kalau ada Wati? Bukankah mereka cuma teman, lagi pula Budi juga tak tertarik pada Wati. Dia bersikap ramah pada janda itu juga untuk menjaga nama baik kampusnya.

Siang itu kembali Budi menyaksikan pemandangan yang menyakitkan, tepat di jam makan siang, di salah satu tepi sawah dia melihat Permadi dengan gadis itu duduk berdua menikmati makan siangnya bersama. Ini sudah kali ketiga, sejak Permadi menghindarinya.

Ada rasa perih yang terbit, tapi Budi menindihnya, dia sudah terbiasa akan rasa itu, dan harus bisa menyimpan dan menyembunyikannya, toh cinta pertama nya dulu di masa SMP juga berakhir menyakitkan. Jadi ini bukan pengalaman pertamanya.

"Bud, ayo sini!" Teriak Deo, teman dekatnya itu mengacungkan rantang besar ditangannya.

Budi mengangguk, setelah memandangi Permadi dari kejauhan sekali lagi, dia pun melangkah mendekati Deo. Deo mengajaknya buat makan di dekat sungai. Dengan semangat 45 Deo membuka rantang bekalnya. Budi mengernyitkan kening, karena seingatnya tadi pagi anak-anak KKN tidak memasak menu seperti yang dibawa Deo sekarang, ayam gulai, sambal terasi petai, lalu rebusan daun singkong.

"Bekalmu mana?" tanya Deo pada Budi.

"Gak bawa, aku lagi tak selera makan" jawab Budi asal. Ya,sejak dia melihat Permadi bersama perempuan itu dia seperti kehilangan semangat tiap menuju sawah.

"Harus makan! Ini makan bagianku juga, kau itu teman baikku, kalau kau sakit siapa nanti yang akan membantuku kalau aku dikerjai sama si Rudi monyong lagi?" Ucap Deo sewot. Segera dia memberikan penutup rantang yang dijadikan sebagai piring. Sekejap saja telah berisi dengan nasi dan lauknya.

"Ini masakan istimewa, semalam aku ketemu nenek-nenek, dia sudah janda, sudah tua juga. Cucunya menangis, ternyata karena belum makan. Mereka kehabisan beras, jadi cuma makan singkong. Karena aku kasihan, jadi aku kasi si embah itu duit buat belanja. Eh tadi si embah datang ke sawah  manggil aku,  dia ngasi aku bekal ini, katanya duit yang aku kasih kebanyakan. Makanya dia memberikan bekal ini" jelas Deo cukup panjang.

Seketika Budi tersenyum, itu artinya Deo yang biasa hidup mewah dan berkecukupan sudah mampu membaur bersama orang-orang kampung. Meski mulutnya jahil, tapi Deo ini punya perasaan sensitif dengan orang-orang sekitar, dia mudah sekali untuk merasa kasihan.

Deo, setelah mencuci tangan segera melafalkan basmalah, lalu dengan lahapnya dia mengunyah nasi dan ayam gulai.

"Sedapnya" ucapnya girang.

Melihat Deo begitu lahap, mau tak mau Budi jadi tergugah selera. Diapun ikut menyuapkan nasi.

"Kalau dipikir-pikir kampung ini indah dan nyaman ya, jauh dari keributan. Sayang beberapa penduduknya masih hidup serba kekurangan" ucap Deo, dia membuka diskusi membahas kampung ini.
"Padahal melihat kekayaan sumber daya alam mereka, seharusnya cukup sih untuk memajukan desa ini" tambahnya pula.

"Orang-orang kampung apalagi letaknya cukup terpencil seperti ini pikirannya masih polos, Deo. Gampang di iming-imingi oleh segelintir orang buat keuntungan pribadi" tanggap Budi.

"Maksudnya?" Tanya Deo.

"Banyak yang terjerat ekonomi hingga akhirnya menjual hasil tani mereka ke tengkulak. Tau sendiri kan tengkulak itu harga belinya gak ngotak murahnya, jauh dari harga jual. Mereka dapat untung berlipat-lipat, tapi menyengsarakan petani" sahut Budi pula.

"Kasihan ya, ingin sekali aku membantu mereka" sahut Deo.

"Aku malah udah kepikiran tentang hal ini, aku rasa di kampung ini perlu berdiri koperasi. Tempat resmi mereka buat menjual hasil pertanian mereka, lalu keuntungan dari koperasi itu dipakai untuk membangun insfratruktur desa ini"

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang