Maman Hilang

333 23 0
                                    

"Apa? Maman hilang?" Tanya Budi setelah Bik Inah datang menangis-nangis ke rumahnya.

"Iya nak, Bibik takut, tolonglah nak, bantu cari Maman" Bik Inah berkata di sela-sela raung tangisnya. Beberapa tetangga telah muncul pula dan menenangkan Bik Inah.

Budi terkesiap, dia cepat masuk ke kamar, meraih satu senapan angin, mengambil jaket, hari telah malam ternyata. Budi gelisah, bagaiamanapun Maman sudah dianggapnya seperti adik sendiri, menghilangnya anak itu membuat Budi merasa punya tanggung jawab besar untuk mencarinya.

"Kami ikut!" Ucap Dika dan Aris serentak. Jepri dan Reno juga.

"Ibu-ibu tolong jaga Bik Inah ya" ucap Budi kepada ibu-ibu tetangga.

Ternyata yang bergerak tak hanya Budi sendiri. Tetapi para warga lelaki yang lain, juga kepala desa, ada dua puluh orang yang mencari dibagi kedalam dua kelompok, masing-masing berisi sepuluh orang.

"Satu kelompok mencari ke hulu sungai, satu lagi ke hilir sungai, kata temannya Maman tadi menuju hilir mengejar celananya yang hanyut" ucap Pak Kades.

"Kenapa tidak ke hulu semua pak?" Tanya seorang warga.

"Siapa tahu, Maman putar arah menuju hilir, anak-anak kan suka bermain tak kenal tempat" jawab Pak Kades. Rombongan pertama di pimpin pak kades sendiri, mereka menuju hulu. Sedangkan rombongan kedua di pimpin Budi menuju ke hilir.

"Anjir, kalau tahu ke hilir mending aku gabung ke grup pak Kades" ucap seorang bapak-bapak

"Kenapa?" Tanya seorang.

"Dihilir kan hutan larangan, tempat bersemayam para jin dan dedemit" sahut yang lain.

Budi mendengar kasak-kusuk itu. Dia tahu keresahan warga yang memang takut akan hutan larangan.

"Bapak-bapak yang tenang ya, kita punya Tuhan, berdoa saja, mudah-mudahan Maman kita temukan, keselamatan anak itu jauh lebih penting saat ini. Semoga niat menolong kita ini disertai lindungan dan bantuan dari Tuhan" Budi mencoba menenangkan. Meski dia sendiri merasa kecut. Apalagi pengalaman sebelumnya dia juga pernah diganggu setan.

Dika melangkah mendekatinya lalu berbisik.
"Kok gugup Bud, takut ya?" Ledeknya.

"Ah enggak" ucap Budi sok gagah.

"Udah tenang saja, selama masih ada aku semua akan baik-baik saja" ucap Dika sok jago, bahkan seolah sombong dia ambil alih berjalan paling depan.

"Maman! Maman!" Hampir dua jam mereka mencari sambil berteriak mencari-cari, sorot lampu senter menyambar kemana-mana.

"Kita hampir masuk ke hutan" bisik seorang bapak resah, suara lolongan serigala terdengar panjang. Mau tak mau semua orang hentikan langkah. Terkejut.

Tiba-tiba Reno berteriak.
"Hei lihat! Itu Maman!" Ucap anak itu sembari menunjuk ke arah dia melihat Maman, sorot senternya juga mengarah ke sana.

"Astaghfirullah" seru seorang bapak, ramai-ramai mereka menyerbu.

"Sialan, saat-saat begini kenapa harus kebelet kencing? Dasar kontol tak tahu situasi" maki Dika yang berjalan di sebelah Aris dan Budi.

"Dika jaga mulut!" Protes Budi marah.

Dika cuma cengengesan.
"Aku kesana sebentar ya, mau kencing!"

"Jangan jauh-jauh, hati-hati" ucap Budi.

Dika memisahkan diri, mencari semak belukar yang dirasanya cocok untuk menyemburkan kencingnya.
"Ah leganya" ucap Dika sembari semburkan air kencingnya.

Dia tak sadar ada sepasang mata misterius nan ganjil yang sedari tadi mengawasinya.

Sementara itu Budi telah merengkuh tubuh Maman.
"Astaga Maman, apa yang terjadi?" Tanya Budi, dia memegang tubuh Maman, panas sekali.

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang