Malamnya, rumah Pak Kades ramai dipenuhi orang-orang kampung, dengan beralaskan tikar mereka membentuk panitia buat acara pesta sunatan Oji anak bungsu pak Kades.
Anak-anak KKN kebagian tugas buat membantu mengaduk dodol dan wajik bersama beberapa pemuda kampung. Selain itu mereka juga kebagian tugas buat mengangkat piring di acara pesta nanti.
Setelah panitia selesai di bentuk, orang-orang membentuk kelompok masing-masing sembari menikmati soto.
Budi dan teman-temannya duduk di sebuah meja dibawah pohon jambu.
Tak jauh dari mereka duduk pula di meja lain Permadi dan teman-temannya. Budi dan Permadi masih perang dingin. Mereka masih sama-sama cuek.
"Memasak dodol itu susah ya, makanya perlu diaduk sama banyak orang?" Tanya Deo polos, dia memang belum pernah ikut kegiatan seperti ini.
"Susah Yo, pakai belanga besar dan harus terus diaduk, yang bikin kerja keras karena semakin lama adonan akan semakin kental, jadi terasa berat diaduk, seperti mengaduk lem. Butuh tenaga besar, makanya harus dilakukan banyak orang buat bergantian" jelas Budi.
Deo mengangguk paham, sesekali matanya melirik pada Lestari, anak gadis pemilik warung yang juga tengah menikmati soto bersama teman-temannya dari teras rumah Pak Kades yang luas. Agaknya Deo sedikit tertarik pada gadis kampung berwajah ayu itu.
Kira-kira sepuluh menit kemudian Budi bangkit pamit.
"Mau kemana Bud?" Tanya Fatir.
"Mau cari tempat buat kencing!" Ucap Budi.
"Jangan jauh-jauh!" Fatir masih sedikit khawatir pada Budi. Dia bermaksud ingin menyusul, namun tak jadi karena sekejap kemudian dari tempat duduknya Permadi dilihatnya bangkit dan menyusul ke arah lenyapnya Budi.
Budi berhenti di satu tempat yang gelap dan banyak dipenuhi pohon pisang, dengan buru-buru dia menurunkan resleting dan mengeluarkan kelaminnya.
"Serrr" air kencingnya menyembur tak tertahan lagi. Setelah selesai Budi rapikan celananya dan bersiap akan pergi.
Baru beberapa langkah, seseorang mencegat jalannya.
"Mas" orang itu menegur dengan teramat merdunya. Suaranya begitu adem hingga membuat Budi terlena sesaat.
"Madi" Budi menegur Pemuda itu.
Keduanya tegak berhadapan, saling memandang dengan bias rindu tertahan.
"Mas, aku kangen" ucap Permadi lirih. Budi dapat mendengarnya, seketika jantungnya berdegup hebat.
"Aku juga" ah akhirnya Budi menjawab juga.
Permadi tersenyum, segera dia menghampiri Budi, lalu menarik tangan pemuda itu mengajaknya menuju ke satu tempat.
***Budi dan Permadi duduk berdampingan di sebuah gubuk reyot di tepi sawah yang cukup terlindung dari pemandangan, apalagi suasana malam membuat tempat itu jadi remang-remang, hanya di pijari lampu jalan dekat tiang listrik, hampis enam belas meter dari tempat mereka.
"Mas aku kangen" kembali kata-kata itu terlontar dari mulut Permadi.
Telinga Budi terasa syahdu laksana dibelai oleh tangan-tangan halus tatkala mendengarnya.
Budi menarik nafas lalu ajukan pertanyaan, "Kalau kangen mengapa kau menjauhiku?"
"Aku kesal sama mas" jawab Budi sambil menunduk, memperhatikan kedua kakinya yang berayun di bawah lantai gubuk.
"Kesal?" Selidik Budi.
"Iya, habisnya mas tidak mendengar larangan ku agar jangan dekat-dekat dan baik-baik pada Wati" jawab Permadi dengan nada jengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)
Teen FictionDika dan Budi, dua musuh bebuyutan di masa SMP tak disangka menyimpan rahasia perasaan yang sama, namun konflik sepele khas anak ABG plus kejaiman dan ego masing-masing membuat mereka mengabaikan suara hati. Namun semua rasa itu kembali mengusik ket...