Panik

21K 1.7K 205
                                    

#Kamar Rawat Inap

Memaafkan. Yahh, meskipun sebenarnya sulit untuk dilakukan. Tetapi, Arrasya ingin mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima kehadiran mereka.

Bukan perkara mudah Arrasya berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya itu. Semua hal sudah dipertimbangkan oleh Arrasya dengan matang, terutama nasihat Nenek Imah tempo dulu yang sampai sekarang ia pegang.

Ditambah seluruh bukti yang ada membuat Arrasya tidak bisa lagi menyangkal jika orang orang dihadapannya itu memang keluarga kandungnya.

Sehingga pada akhirnya Arrasya memberikan mereka kesempatan.

"Satu lagi yaa." Pinta Nadia menyodorkan satu sendok terakhir bubur dari mangkuk ditangannya kepada Arrasya.

Selepas perkenalan singkat yang penuh haru itu, Arrasya harus makan karena tersadar ketika perutnya berbunyi. Awalnya Arrasya menolak, tetapi Nadia bersikeras hingga Arrasya hanya bisa menganggukkan kepala.

Arrasya menerima suapan bubur terakhirnya meskipun perutnya sudah terisi penuh. Itu semua karena Arrasya masih tak enak hati mengingat perkatannnya yang terlalu kasar tadi kepada mereka, terutama kepada orang yang dihadapannya itu.

Orang yang belum genap dua puluh menit yang lalu Arrasya tahu bahwa orang itu adalah Ibu kandungnya.

Nadia tersenyum cerah mendapati bubur di tangannya habis, hanya tersisa mangkuk dan sendoknya saja.

"Ini minumnya." Ucap Nadia berganti mengulurkan segelas air putih ke hadapan Arrasya.

Arrasya menerima gelas itu tetapi tidak langsung meminumnya karena ada satu hal yang tiba tiba menarik perhatiannya. Pandangan Arrasya tak sengaja berhenti pada tembok, di mana jam dinding terpasang.

Pukul setengah delapan malam, Arrasya merasa ada sesuatu yang janggal. Hanya butuh tiga detik bagi Arrasya mengetahui kejanggalan itu.

Altha dan Erick. Mereka tidak tahu jika ia berada di rumah sakit. Arrsya berniat mengabari mereka, tetapi handphone miliknya pasti berada di rumah, sedangkan di dekat Arrasya pun tidak ada telepon.

Dengan ragu, Arrasya menarik pelan baju yang dipakai oleh Nadia ketika Nadia hendak beranjak ingin meletakkan mangkok ditangannya dan juga mengambil obat untuk diminum Arrasya.

Nadia berbalik menatap Arrasya karena tarikan itu. Nadia tersenyum lembut melihat Arrasya yang masih memegangi bajunya.

"Kamu butuh sesuatu?" Tanya Nadia mengerti Arrasya segan untuk mengatakannya.

Arrasya ragu ingin berbicara. Tetapi kalau tidak dengan Nadia, Arrasya tidak tahu meminta bantuan kepada siapa. Karena hanya Nadia orang yang paling dekat dengannya saat ini.

Yang lain berada sedikit jauh dari Arrasya. Memang Arrasya sudah berkenalan dengan mereka semua. Tapi, itu bukan berarti Arrasya bisa langsung dekat dengan mereka semua. Arrasya merasa sangat canggung kepada mereka.

"Katakan saja Arsy, jangan sungkan." Ucap Nadia lagi karena Arrasya tak kunjung mengatakan keinginannya.

"Mmm... Say hm Arsy boleh pinjem handphone Bunda sebentar?" Tanya Arrasya mengutarakan keinginannya.

Nadia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Nadia kemudian mengambil handphone di atas nakas sebelah brankar Arrasya.

"Lain kali jangan sungkan sungkan kalau kamu butuh sesuatu. Katakan saja, mengerti?" Nasihat Nadia sembari mengulurkan handphone ke hadapan Arrasya.

"Iya, Bunda. Terima Kasih." Jawab Arrasya mengambil handphone Nadia.

Reaksi antara Ibu dan Anak itu tak luput dari pandangan ke sembilan orang lain yang berada di ruangan itu.

Arrasya Brian A.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang