Assalamualaikum, selamat malam! Axel-Abra hadir untuk menemani malam anda!
Hari ini aku dobel update ya, anggap aja bonus atas kesabaran para readers yang baik hati menunggu updatean yang tak menentu. Mwehehe
Selamat membaca, jangan lupa vote dan komen!
Siapkan tisu yaa, part ini agak-agak gimana gitu soalnya.
***
"Mandi dulu, setelah itu kita bicara."
Aku masih berdiri mematung membelakangi pintu yang baru saja tertutup. Sama sekali tak bergeming saat Abra naik ke lantai atas lalu turun kembali dan mengulurkan handuk padaku. Katakanlah aku masih syok karena bentakannya tadi, tapi kenapa tubuhku terasa sangat berat untuk digerakkan?
Aku sangat jarang menerima bentakan. Seingatku, terakhir kali ada orang yang meneriakiku adalah tiga atau empat tahun yang lalu, saat aku masih bekerja di Amerika. Itupun bentakan karena terlambat atau kurang cekatan menangani pasien. Wajar di dunia pekerjaan kami yang serba ingin cepat.
Aku bahkan diperlakukan seperti tuan putri di mansion. Papa, Eyang dan Aldrich memanjakanku meski usiaku sudah hampir kepala tiga. Bagi mereka, kebahagiaanku adalah yang paling utama. Kenyamananku adalah yang nomor satu.
Aku menatap dalam-dalam wajah Abra yang berdiri tanpa ekspresi, mencoba membaca apakah ada setitik saja rasa penyesalan dari rautnya. Wajah itu terlalu polos tak beriak, membuatku kepayahan. Tapi aku bisa merasakan aura mengintimidasinya menguar pekat seperti memaksaku untuk menciut.
"Apa seterusnya akan begini? Apa kamu akan terus meneriakiku di depan orang ramai saat kamu marah padaku?" tak sadar bibirku bergerak sendiri melontarkan pertanyaan itu.
Abra tak menjawab. Tapi wajahnya perlahan memerah.
"Aku tahu aku salah, tapi apa perlu kamu membentakku seperti itu? Seandainya saja kamu lupa, biar kuingatkan lagi. Aku ini istrimu, Abra. Istrimu! Seharusnya kamu melindungi harga diriku, tapi ..." aku tak sanggup bicara karena hati yang semakin sesak. Mati-matian aku menahan air mata. "Kamu bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Abra masih saja terdiam.
Tak tahan dengan kebisuan yang semakin menyesakkan, aku mengambil satu langkah maju dan melingkarkan tangan di pinggang Abra. Menutup mata dan mencoba mencari sisa-sisa kenyamanan yang biasa kurasakan ditengah amarah dan kecewa. Tapi nihil, kenyamanan dan perlindungan itu tak kurasakan lagi.
Tubuh tegap Abra menegang. Aku langsung melepaskan diri begitu merasakan sebelah lengannya perlahan naik, mungkin ingin mengelus punggungku. Hatiku terlanjur dingin dan tawar. Pelukan ini mendadak terasa salah. Melihat wajahnya saja aku enggan! Tepatnya tidak bisa karena sorot matanya hanya akan membuatku kesakitan.
"Aku minta maaf karena membuatmu malu. Percayalah, tak pernah sedetikpun terbersit di hatiku untuk berteriak pada Budhe." Aku menelan ludah, berusaha menatap Abra dengan tatapan teguh. "Tapi dia benar-benar sudah keterlaluan. Aku tak masalah jika dia hanya menghinaku, tapi tidak dengan kedua orangtuaku. Seburuk apapun Papa dan Mama, tidak ada yang boleh mengatai mereka seperti itu. Aku tidak akan memaafkannya meski orang itu budhe atau kamu sekalipun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...