Assalamualaikum dan selamat malam...
Apa kabar semua? Pada sehat ya?
Pada ngapain nih?
Masih setia jadi kaum rebahan kah? Wkwkwkw...
Iya sih, udah malam juga. Emang waktunya rebahan ya?
Ini sebenarnya update-an dadakan. Aku rencana update besok pagi atau siang, tapi karena gak sempat, jadinya ku update malam ini daripada kalian nunggu lama kan yaa...
Selamat membaca, jangan lupa vote, komen dan tandai typo!
***
Aku masuk kerja dengan perasaan yang cukup kacau. Awalnya berniat untuk membolos saja karena kejadian hari kemarin di ruanganku membuat suasana hatiku memburuk dan bayangan-bayangan itu datang lagi. Tapi pagi-pagi sekali rumah sakit menelpon dan memastikan kehadiranku karena Roy sudah mengambil cuti dadakan terlebih dahulu. Jadi aku terpaksa masuk hari ini. Kasihan dokter Warni dan dokter Sinta. Aku tak ingin membuat mereka keteteran karena harus menangani pasienku dan pasien Roy sekaligus.
Primehealth Hospital memiliki delapan orang dokter spesialis kandungan yang dibagi menjadi dua tim. Tim I terdiri dari dokter Jensen yang berasal dari Skotlandia, dokter Rahma, dokter Zaki, dan dokter Bianca. Tim II terdiri dari dokter Warni, dokter Sinta, aku dan Roy. Sebagai rumah sakit terbesar di Ibukota, kami menyediakan pelayanan terdepan dan tenaga medis yang kompeten. Kedua tim tersebut diberikan shift secara bergiliran antara waktu tugas pagi dan malam.
Suasana ruangan terasa begitu mencekam. Aku melirik ujung meja dan menghela napas saat tak menemukan cup kopi seperti biasa. Ada yang mengganjal dalam hati mendapati sikap acuh Roy, tapi kuabaikan. Aku menghibur diri dengan mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Roy hanya sedang butuh waktu, aku yakin itu.
Astaghfirullah...apa yang kupikirkan? Apa aku baru saja baper karena diacuhkan Roy? Aku menggeleng...tidak...tidak...aku baik-baik saja! Batinku sambil mengusap-usap cincin di jari manis.
Seperti biasa, benda mungil itu selalu berhasil menentramkan hatiku. Rasa bersalah perlahan menjalari hati dan membuatku meringis. Aku merasa berdosa karena sempat-sempatnya terbawa perasaan karena lelaki lain sedangkan aku sudah memiliki tunangan. Bukankah seharusnya aku marah pada Roy karena dia sudah menyakitiku? Tetapi kenapa untuk marah padanya terasa susah sekali?
Mendadak aku merasa berdosa pada Abra. Entahlah. Kemarin-tepatnya setelah mendengar perkataan Roy, hatiku sempat dibuat terombang-ambing oleh kekhawatiranku sendiri. Aku sudah menerima Abra, baik buruk dan kurang lebihnya. Tapi pengetahuanku yang minim soal dirinya membuatku ragu. Aku tahu dia baik, tapi apa baik saja cukup? Aku ini perempuan, dan setiap perempuan membutuhkan orang yang manis, yang mampu memperlakukan dirinya dengan kasih sayang. Apa aku bisa mendapatkan semua itu dari Abra? Aku bahkan tak tahu apa motifnya menerima perjodohan kami. Perkataan Roy kemarin membuatku sedikit terpengaruh. 'Abra tak pernah tertarik padaku...'
Benar, Abra tak pernah tertarik padaku. Sedikitpun tidak. Hampir empat tahun mengenal, aku tak pernah mendapatinya melirikku apalagi melempar senyum. Dia sangat dekat dengan Aldrich, bahkan mereka sudah tampak seperti saudara. Tapi aku tak pernah dianggapnya ada. Selalu aku...dan selalu saja aku yang terlebih dahulu memulai interaksi diantara kami. Orang pasti akan percaya jika perjodohan ini memang berasal dari pihakku.
Tapi untunglah seporsi sup ikan yang beraroma gurih tadi malam menyelamatkan hatiku dari pikiran-pikiran negatif didalam otak. Lewat sup hangat itu aku menjadi yakin bahwa bukan hanya aku saja yang antusias dengan pernikahan ini, tapi Abra juga. Lewat surat kecilnya aku jadi tahu bahwa sebenarnya dia juga perhatian, hanya saja berusaha untuk tak menjelaskannya secara berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
EspiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...