Assalamualaikum dan selamat malam ...
Sesuai janji, dobel update. Yeaaay ...
Jangan lupa vote dan komen yaa?
Persiapkan hati juga, karena part ini berpotensi menyebabkan (isi sendiri)! Hehe
Saat kami tiba di rumah sakit tempat Arini dirawat beberapa jam setelahnya, berita duka itu tersiar. Prediksiku benar, kandungan Arini tak bisa diselamatkan. Arini pendarahan begitu banyak sehingga janinnya tak mampu bertahan. Aku tak tahu harus melakukan apa selain melihat Ibu yang memeluk Abra begitu pilu.
Bayi Arini dibawa pulang di pagi harinya oleh Pakde Fathan dan Ridwan—suami Arini. Abdi negara itu sepertinya begitu terpukul saat mendekap bayi kecilnya yang sudah tak bernyawa. Ridwan bahkan masih mengenakan seragam saat tiba disini. Dia menahan tangis sekuat tenaga. Dan meskipun aku sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini, tetap saja aku ikut merasa sedih.
"Ayo istirahat." Abra mengulurkan tangannya padaku. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Arini belum kunjung bangun juga dari tidurnya.
"Nanti saja." Tolakku. Entah kenapa sejak kemarin Abra terus saja mengajakku beristirahat. Dia kira di situasi seperti ini aku masih punya selera untuk memejamkan mata?
Abra menarik napas panjang dan duduk di sebelahku. Wajah tampannya tampak kusut dan begitu kelelahan. "Harus sekarang! For God sake, you need to rest properly, Axelia." katanya gemas.
"Iya, Axel pergi istirahat dulu. Kasihan dari tadi malam belum tidur. Ibu ndak mau menantu Ibu sakit juga." ibu yang duduk disamping pembaringan Arini menyela. Bibir letihnya menatapku lembut, tapi kekhawatiran itu tetap tampak jelas di matanya.
Aku menimbang-nimbang sejenak kemudian mengangguk. Sebenarnya aku masih ingin berada disini, tapi melihat kondisiku dan Abra yang baru kusadari ternyata sangat kucel karena belum berganti baju sejak tadi malam, aku memutuskan untuk menurut. Abra langsung menggandengku keluar dari kamar setelah berpamitan pada Ibu. Kami menelusuri lorong, menuruni lantai menggunakan lift dan berjalan keluar menuju mobil yang sudah menunggu. Zidi benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Selain pesawat, dia juga menyediakan mobil beserta supir untuk kami.
"Kita mau kemana?" tanyaku. Abra tak menjawab, suamiku itu menjatuhkan kepalanya di pundakku dan memejamkan mata.
Kubelai rambutnya dengan lembut. Aku sangat paham dengan perasaannya yang sedang berkecamuk. Dia pasti khawatir dan sedih. Pasti tidak menyangka juga hal seperti ini akan terjadi di keluarganya. Terlebih dia adalah kepala keluarga, tak hanya bagiku tapi juga bagi keluarganya. Meskipun Arini sudah menikah, aku yakin rasa tanggung jawab dan ingin menjaga tetap ada dalam diri Abra. Aku hanya berharap elusan tak seberapa yang kuberikan saat ini mampu meringankan bebannya.
"Terima kasih, Mbak Istri." Abra bergumam lirih. Aku menghentikan belaianku dan menatapnya dengan kening berkerut.
"Untuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...