Assalamualaikumdanselamatsiang :)
Kaget Axel update lagi? Gak papa, nikmati aja selagi aku masih rajin :D
WARNING : harap tandai typo! Jangan lupa juga vote dan komen. Hehehehe
***
Setibanya di rumah sakit, aku mendudukkan Abra dengan paksa diatas salah satu brankar kosong di pojok ruangan UGD setelah mendapatkan izin dari seorang dokter jaga. Suasana ruang darurat pertama ini cukup ramai, tapi syukurnya kami berada cukup jauh dari kerumunan, sehingga bisa leluasa untuk berbicara. Dengan cepat, kuambil kotak first aid dari bawah ranjang dan memasang sarung tangan. Kububuhi alkohol diatas kapas, Abra langsung mendesis perih saat bulatan kapas yang kujepit pinset itu mengenai kulit wajahnya.
"Tahu sakit, kenapa masih sok-sokan mau berkelahi?" entah kenapa aku tak bisa menahan diri untuk mulai mengomel. Rasa geram dan tak sampai hati berlomba-lomba mengambil alih. Ingin rasanya kupukuli, tapi Abra sedang kesakitan. Jadi aku harus bagaimana?
Abra hanya diam. Matanya tak sekalipun mau menatap atau melirik kearahku. Aku tahu sebenarnya dia ingin protes dan berkata kalau dia baik-baik saja, tapi ternyata dia sadar diri kalau posisinya sekarang tidak pantas untuk mengungkapkan penolakan sok ksatria atau sebagainya.
Memang saat di perjalanan tadi kami hanya diam. Kami hanya saling diam sepanjang perjalanan. Aku sibuk dengan pikiranku sementara Abra juga sibuk dengan rasa canggungnya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi begitu aku mendelik dan memberinya tatapan peringatan, dia mengurungkan niatnya untuk bicara.
Wajahnya yang lebam dan bibirnya yang luka-luka membuatku marah. Dia itu laki-laki, berbadan besar pula. Seharusnya bisa menjaga diri atau setidaknya melawan saat dipukuli. Kenapa malah pasrah begitu? Haisshh...
Rumah sakit cukup heboh melihat kedatanganku mendorong Abra yang babak belur diatas kursi roda. Berbagai macam ghibahan langsung beredar. Aku malah bisa mendengar beberapa orang suster berbisik-bisik dengan telingaku sendiri.
'Itu dokter Axel kan? Itu laki-laki yang dia bawa siapa?'
'Nggak tahu. Tapi ganteng ya, walaupun mukanya babak belur begitu...'
'Eh...eh, atau jangan-jangan itu calon suaminya? Dokter Axel kan mau menikah kurang dari dua minggu lagi...'
'Waah...beneran itu calon suaminya? Nggak kalah sama dokter Roy. Cocok...cocok...'
'Iya sih, tapi kasihan dokter Roy. Dia udah ngejar-ngejar dokter Axel sejak lama loh, eh dokter Axel-nya malah end up sama orang lain. Ckck..'
'Iya juga...tapi dengar-dengar dokter Roy itu sebenarnya—bla...bla...'
Aku hanya memutar bola mata dan beristighfar dalam hati. Semua orang tahu fakta kedekatanku dengan Roy karena pria itu suka mengikutiku kemana-mana. Berita pernikahanku juga sudah tersebar begitu cepat di rumah sakit. Papa mengundang semua dokter dan petugas Primehealth Hospital untuk menghadiri pesta pernikahanku nanti. Aku meringis begitu membayangkan bagaimana Roy akan menjadi bulan-bulanan gosip setelah ini.
Abra sepertinya juga tampak tak nyaman dengan bisikan-bisikan itu, tapi aku membiarkan saja dan terus mendorong kursi rodanya menjauh. Dia jelas butuh perawatan. Dan aku butuh penjelasan.
"Kenapa kamu sama Roy bisa ada disana? Dia yang mengajakmu bertemu atau bagaimana?" aku melirik Abra sekilas sebelum kembali fokus pada luka-lukanya. Tapi Abra tetap saja tak bergeming. Kutekan kapas dengan sedikit tenaga di sudut bibirnya. Dia lagi-lagi meringis kesakitan, tapi kali ini dia menatapku. Bagus! Coba saja abaikan aku!
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
Tâm linhKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...