Part 22

17.8K 2.9K 1.1K
                                    

Assalamualaikumdanselamatpagiii...

Axel updateee!

Yang nunggu notif mana suaranya?

Hehehe...

Oke, jadi part ini sebenarnya untuk scene jam 11an nanti, tapi berhubung I will be very busy whole day, so aku update sekarang aja!

Jam berapa kalian baca part ini?

Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Jangan lupa vote dan komennya yang buanyaak yaa!

***

"Baguslah! Pertahankan saja keras kepalamu itu sampai mati, Axelia!"

Aku menunduk dalam mendengar omelan Eyang. Rasanya begitu malu saat dimarahi di depan banyak orang, tapi aku juga tak memiliki nyali untuk sekedar membela diri. Eyang terus saja memarahiku begitu aku bangun dari tidur—tepatnya pingsan.

Memang hampir seharian kemarin aku tidak makan. Pagi ini juga. Belum lagi beban pikiran akibat masalah kemarin dan rasa nervous menjelang pernikahan, membuatku lemas dan kehilangan tenaga. Akan tetapi, makan adalah hal terakhir yang mampu kulakukan setelah semua hal gila yang terjadi sejak kemarin. Bagaimana aku bisa berselera menyantap sesuatu saat aku sedang sibuk meluruskan pikiranku?

"Pa, sudahlah. Biarkan Princess beristirahat." Itu suara Papa. Sejak tadi, beliau terus duduk di sisi kanan ranjang, sedangkan Ibu Abra duduk di sisi sebelah kiri sambil menggenggam tanganku. Abra? Dia berdiri di samping meja rias, menyandarkan tubuhnya disana sambil melipat tangan di depan dada. Tuksedonya sudah dilepas entah kemana. Wajahnya tak berekspresi, sepertinya tak berniat untuk ikut campur sama sekali melihat aku—perempuan cantik yang sudah menjadi istrinya—dimarahi seperti ini. Haishh!

Eyang berdecak. Pria tua itu menatapku tajam, dan aku tahu kemarahannya kali ini lebih besar dari kemarahannya yang biasa. Tapi syukurlah, beliau sadar situasi. Masih punya malu juga di depan Ibu Abra sehingga berbaik hati mengalah.

"Kamu sudah besar, Princess. Sudah menikah dan punya suami juga. Tidak seharusnya Eyang marahi seperti ini lagi." Eyang menghembuskan napas panjang, berusaha menekan emosinya dalam-dalam. Aku menunduk semakin dalam mendengar ketukan tongkat mahal Eyang yang terdengar tak sabar.

Salah satu hal yang paling tidak disukai Eyang adalah adalah saat kami—semua anggota mansion—melewatkan jam makan. Beliau akan berteriak saat mengetahui bahwa ada di antara kami yang tidak makan baik disengaja maupun tidak. Kurasa itu karena beliau teringat dengan masa lalunya. Dulu, salah seorang anaknya meninggal karena kekurangan nutrisi, tapi saat itu Eyang tak bisa berbuat apapun karena memang kesulitan ekonomi. Tapi sekarang, semuanya sudah tersedia, tinggal makan saja apa susahnya? Begitu kata Eyang.

Eyang, Papa dan Ibu Abra keluar dari kamar beberapa menit kemudian. Ibu Abra—yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku menepuk pelan kepalaku dan memberikan senyuman menenangkan. Beliau juga berpesan pada Abra agar menjagaku baik-baik. Ya Allah, rasanya aku masih bermimpi, kebaikan apa yang pernah kubuat di dunia ini sampai Engkau menganugerahkan aku seorang mertua sebaik ini?

Melihat sifat tenang Ibu, aku jadi sedikit tahu darimana sifat kaku Abra berasal.

Kamar besar ini terasa sunyi begitu semua orang meninggalkan kami. Aku masih setia duduk diatas ranjang dengan lutut tertekuk dan kepala tertunduk, sedangkan Abra terus berdiri disana, di samping meja rias sembari melipat kedua tangannya. Meski kami tak bertentang mata, tapi aku tahu saat ini dia sedang menatapku.

Apa dia marah? Atau kecewa?

Hari pertama menikah saja aku sudah membuat masalah!

Aku semakin menciut saat mendengar langkah Abra mendekat. Pria yang sudah berstatus sebagai suamiku sejak sekian jam yang lalu itu sudah mendudukkan tubuhnya diatas ranjang, tepat di depanku. Tapi hampir tiga menit berlalu, dia tak kunjung bicara sepatah kata-pun. Aku semakin was-was dibuatnya. Apa dia benar-benar marah karena aku mengacaukan acara pernikahan kami dengan adegan pingsan yang sungguh tak elit itu?

JODOH By Axelia (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang