Part 05

16.7K 2.4K 132
                                    

Assalamualaikum dan selamat malaaam...

Yang rindu Axel mana suaranyaa? Mwehehe

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Diberikan kesehatan dan diberikan ketabahan dalam menghadapi semua cobaan. Aamiin...

Selamat membaca!

***

Empat hari berlalu sejak malam baper di ruangan Papa, aku belum bisa memutuskan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Isi email itu begitu jelas dan terang, bahwa Mama-ibu kandungku sedang menunggu kedatanganku dan Aldrich dalam keadaan sekarat karena penyakit kronis yang menggerogoti tubuhnya. Aku sudah bertanya pendapat Eyang tentang langkah selanjutnya, tapi jawaban Eyang sungguh tak memuaskan. Pria tua itu meletakkan semua keputusan di tanganku. Jika aku memutuskan pergi ke Rusia, beliau akan menyiapkan segalanya termasuk jet dan hotel, tapi jika aku memutuskan untuk tidak pergi, Eyang juga tak akan pernah mengungkit tentang ini selama-lamanya.

Aku galau luar biasa. Semua orang yang kutanyai memberikan jawaban yang sama, termasuk Roy. 'Apa gunanya bersusah payah mengunjungi orang yang dengan teganya membuang kita? Tidak usah sok jadi malaikat! Begitu kata mereka.

Hari ini hari ahad, hari dimana aku akan menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan atau memanjakan diri dari pagi sampai malam. Tapi berhubung agenda memanjakan diri tak pernah lagi terasa menarik sejak kepergian kakak iparku ke Inggris, aku memutuskan untuk mengurung diri saja di mansion.

Aku menyandar di tiang gazebo sambil memeluk salah satu koleksi boneka panda yang kubawa dari kamar. Gazebo ini selalu menjadi tempat favoritku jika punya waktu untuk tidur siang. Tapi meski hampir sejam mencoba untuk tidur, aku tetap tak bisa memejamkan mata. Para ikan berwarna-warni yang sibuk berkejaran di kolam pun tak mampu membuatku mengantuk seperti biasa.

Kepalaku terangkat saat melihat deru mobil masuk ke pekarangan. Oh, ternyata sedan putih yang entah kenapa cukup sering wara-wiri di mansion akhir-akhir ini. Aku mengerutkan kening bertanya-tanya ada proyek apa Abra dan Eyang sehingga mereka melakukan pertemuan secara intens. Dan kenapa juga harus bertemu di rumah? Kenapa tidak di kantor atau diluar saja? Aku mendengus tak suka begitu membayangkan para pria yang membawa pekerjaan mereka ke rumah. Dalam hal ini khususnya Eyang. Apa tidak cukup juga waktu yang dihabiskannya selama berjam-jam mengurusi kerajaan bisnisnya di kantor?

Abra menutup pintu mobil dan melangkah masuk kedalam mansion. Seorang asisten rumah tangga menghampirinya dan memberi salam dengan hormat. Setelah bertanya beberapa hal yang entah apa pada pelayan itu, ia sedikit mengangguk dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.

Aku menyipitkan mata tak senang melihat reaksi pelayan yang baru saja ditinggal Abra. Matanya berbinar-binar dan dia menggigit gagang kemoceng dengan gemas. Dasar jorok!

Apa yang menariknya dari Abra sampai dia bertingkah seperti itu? Abra itu manusia es! Manusia es!

Cukup lama juga Abra menemui Eyang. Aku sudah menguap berkali-kali dan hampir saja tertidur saat dia keluar dari mansion sembari menenteng sebuah map berwarna putih berlogo Primaganda Global.

Langkahnya tegap dan lurus, terlihat sangat teguh pendirian. Tak ada gurat-gurat senyum seperti yang biasa kutemukan di wajah Eyang. Abra dimataku lebih terlihat mirip Aldrich, tenang dan agak dingin. Mungkin efek beberapa tahun menjadi sekretaris Aldrich dulu, jadi sifatnya pun jadi mirip kakunya.

"Abra!" aku tak sengaja malah memanggilnya. Rasanya ingin menepuk mulutku sendiri, kenapa aku bisa keceplosan memanggil dia?

Abra menoleh. Matanya melebar saat manik hitamnya menangkap sosokku yang duduk manis di gazebo. Dari jarak kami saat ini, aku bisa melihat kegugupannya. Ekspresinya persis sama seperti beberapa hari yang lalu, menatapku horror seolah aku adalah hantu. Sialan—astaghfirullah, tidak baik mengumpat—kenapa aku merasa tersinggung saat dia melihatku begitu?

JODOH By Axelia (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang