Assalamualaikum dan selamat malam...
Selamat 'Idul Fitri, mohon maaf zhahir dan bathin semuanya...
Oke, karena di voting tadi siang banyak yang minta update malam ini, jadi kukabulkan deh walaupun sekarang udah jam sepuluh.
Kalian baca ini jam berapa?
Selamat membaca, semoga terhibur, dan semoga hilang semua kepenatan karena beres-beres rumah atau kegiatan apapun yang kalian kerjakan hari ini. Wkwkwkw...
Adakah yang open house disini?
Oh ya, jangan lupa vote dan komen yeeess...
Kumau ngegas aja sekarang, kalo vote dan komen gak banyak kadang suka malas mau update. Eaaaaaaakkk...
Warning : Part ini pendek!
***
Semua proses terjadi lebih cepat dari perhitunganku. Dua keluarga bertemu di salah satu restoran privat di pusat kota Jakarta seminggu setelah obrolanku dengan Papa di rumah sakit. Abra membawa serta ibu, dua orang adik perempuan dan ipar lelakinya, serta dua orang paman dari pihak almarhum ayahnya ke Jakarta untuk melamarku secara resmi. Sementara dari pihak keluargaku hanya dihadiri oleh Eyang, Papa, dan dua Oma dari Singapura dan Australia yang tiba di Indonesia kemarin sore. Aldrich dan Almeera meminta maaf karena belum bisa pulang. Mereka berjanji akan kembali ke Jakarta seminggu sebelum acara pernikahan digelar.
Meski acara lamaran hanya berlangsung secara kecil-kecilan, tapi perbincangan tetap terjalin hangat. Keluarga dari pihak Abra mayoritas adalah sosok yang sangat menyenangkan, terutama Ibu dan kedua adiknya. Aku langsung merasa jatuh hati pada mereka saat pertama kali bertemu. Ibu Abra—yang mulai saat ini juga sudah resmi kupanggil Ibu meski dengan wajah memerah malu dan hati penuh haru—bahkan sudah memanggilku dengan panggilan 'Nak', sama seperti saat beliau memanggil Arini dan Adelia-putrinya.
Aku tak berbicara banyak kecuali sesekali menjawab pertanyaan Ibu atau bertanya tentang hal-hal sepele. Aku menyerahkan semua urusan pada Papa dan ketiga Eyangku karena mereka lebih tua dan tentunya berpengalaman. Abra juga begitu. Ia menyerahkan semua keputusan pada Ibu dan pamannya. Tapi yang membuatku terkejut, dia secara berani meminta pernikahan kami agar diselenggarakan secepat mungkin. Kalau bisa tidak lebih dari masa sebulan. Aku terperanjat dan bersiap ingin protes, tapi Eyang dan mulut besarnya dengan cepat menanggapi.
"Ya, bagus! Kalau mau minggu depan juga tidak apa-apa. Anak muda itu tidak bisa dibiarkan tunangan berlama-lama. Bahaya buat kesehatan jiwa dan raga ya, Ab? Hahaha..."
Semua orang langsung tertawa dengan guyonan Eyang, tapi tidak denganku. Aku melongo parah. Sedangkan Abra? Dia menunduk dan tersenyum-senyum salah tingkah. Astaghfirullah...kenapa dia seperti itu?
Setelah melalui obrolan panjang, pernikahanku dan Abra akhirnya ditetapkan sebulan kemudian sementara acara di Semarang akan diselenggarakan sebulan setelah acara di Jakarta. Aku hanya mampu menghela napas pasrah. Well, apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut saat aku sudah mengikrarkan bahwa aku menyerahkan semua keputusan pada para tetua saat di mansion tadi? Aku tak menyangka Eyang dan Papa mengambil keputusan yang begitu ekstrem. Kupikir mereka masih ingin menahan dan memanjakanku lebih lama seperti biasanya. Tapi ternyata...
Ibu Abra menyematkan sebuah cincin emas putih dengan hiasan berlian kecil di jari manisku. Meski rasa cinta itu belum ada, tapi tak bisa dipungkiri jantungku berdesir heboh juga terlebih saat mendengar godaan-godaan yang terlontar dari orang-orang di ruangan itu. Aku tersipu saat Ibu Abra mencium pipiku. Mataku melirik malu kearah Abra, ingin melihat reaksinya saat ini. Tapi pria kaku itu tak menatapku sama sekali. Membuatku sebal saja! Dia menganggap pertunangan ini apa sebenarnya? Kata Eyang dia ini tipe pemalu yang telinganya memerah saat mendengar namaku disebut, tapi mana? Dia bahkan tampak tenang-tenang saja seolah tak aja kejadian apa-apa melihatku berada di pelukan ibunya!
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualitéKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...