Assalamualaikum dan selamat subuh...
Apa kabar hari ini?
Pada sehat kan yaaa?
Rindu Axelia?
Sama, aku kok juga gak sabar pengen posting. Gak tau kenapa beberapa hari ini mood nulis Axel ini baik terus....mwehehehe
Selamat membaca, dan seperti biasa jangan lupa vote dan komen J
***
Aldrich mendatangiku di kamar keesokan harinya dengan wajah kacau luar biasa. Dia menangis di pangkuanku selama hampir satu jam dan menumpahkan segala emosinya dalam bentuk racauan penuh kemarahan. Dia seharusnya bahagia setelah meninggalkan kami, dia seharusnya dia bisa menjaga diri dan kesehatannya dengan baik, dia seharusnya...dia seharusnya...itulah racauan yang terus dilirihkan Aldrich. Tahulah aku, bahwa dia sudah melihat bagaimana mengenaskannya kondisi Mama.
Aku sangat jarang melihat Aldrich meneteskan air mata, dan saat melihatnya begitu bersedih seperti ini, aku tak bisa untuk tak ikut menangis bersamanya. Kuusap kedua matanya dengan ibu jari dan kutatap matanya dalam-dalam.
"Nggak usah menyesal, brother. Jangan salahkan diri lo kenapa kita terlambat datang. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali." Aku mencoba menghibur Aldrich. Manik hitam yang biasa tegas dan teguh itu kini tampak rapuh dan terluka luar biasa.
Almeera meninggalkan kami begitu sadar bahwa kami perlu bicara berdua. Aku dan Aldrich adalah orang yang paling terluka di masa kecil kami, dan hanya kami berdua jugalah yang bisa saling menyembuhkan. Kami membutuhkan satu sama lain untuk tetap waras dan bisa berpikir jernih.
"Kamu adikku yang paling berharga, Axel." Aldrich memelukku sangat erat setelah tangisnya reda. "Sekarang aku sadar, rasa sayangku ini ternyata bukan hanya bentuk sayang dan perlindungan seorang kakak untuk adiknya, tapi juga bentuk kerinduan seorang anak pada ibunya. Kamu...kamu...begitu mirip dengan Mama." Suara Aldrich terdengar begitu parau.
Mataku kembali berair melihat sorot kepiluan yang memancar dari mata Aldrich. Aku bisa melihat begitu besar penyesalan sekaligus kelegaan disana. Aku yakin dia sudah lama menyadari itu, hanya saja ego dan luka membuatnya menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk memaafkan Mama. Kalau dia benar-benar membenci Mama, tak mungkin dia sanggup menatap wajahku setiap hari, tak mungkin dia memberikanku kasih sayang dan perhatian yang begitu besar. Secara aku adalah replika dari orang yang dia benci, iya kan?
"I know you love me that much..." aku kembali menghapus airmata Aldrich, kali ini dengan ujung lengan bajuku. Kakakku itu mengangguk cepat.
"So much..." katanya.
Aku menyunggingkan senyum bahagia, lalu sedetik kemudian memasang wajah serius. "Gue...aku sudah menanyakan kondisi Mama pada Chyntia." Aku menggigit bibir begitu mengganti kata 'gue' yang biasanya kugunakan menjadi 'aku'. Tapi syukurlah Aldrich tak memberikan reaksi apapun. "Kondisinya parah, Al. Hanya keajaiban dari Allah saja yang bisa membuat Mama memiliki kesempatan hidup lebih lama."
Kesedihan membayang di wajah Aldrich. Aku tahu, rasa sayang yang dulu terselimuti benci di hati Aldrich kini sudah mengambil alih. Dia pasti merasa bahwa semua ini sungguh tidak adil, tapi aku percaya dia juga pasti bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk berbakti. Seperti katanya di metro kemarin, meskipun baktinya telat, sih!
"Don't be sad, big boy!" aku mengacak rambut tebal Aldrich seperti seorang kakak memberi nasehat pada adiknya. Aldrich tak marah. Dia malah tampaknya menyukai usapanku, terlihat dari matanya yang mulai berbinar cerah. "Ayo kita buat kenangan yang indah dengan Mama. Gue...aku nggak mau ada penyesalan lagi di hati kita setiap kali mengenang sosok ibu yang melahirkan kita, Al. Sudah cukup dengan semua luka dan kekecewaan kita selama ini. Aku ingin setelah ini...hanya akan ada kebahagiaan yang menyertai hidup kita. Hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...