Part 23

17.2K 2.8K 630
                                    

Assalamualaikum dan selamat pagi!

Axel update lagi untuk lebih menceriakan hari Ahad kalian ...

Yang rindu mana suaranya?

Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen dan tandai typo yaaa!

***

"HEI!!"

Aku terperanjat begitu mendapatkan tepukan keras di lengan. Aldrich menatapku dengan raut sebal, sementara di sampingnya, Almeera hanya tertawa melihat kelakuan kami.

Saat ini kami sedang berada di halaman belakang, tepatnya di tempat acara pernikahan yang sudah diubah suasananya menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan. Kursi dan meja ditata dengan apik. Makanan dan minuman aneka macam tersedia berjejer diatas meja panjang di sudut taman. Keluargaku dan keluarga Abra juga sudah berganti pakaian menjadi lebih santai. Instrument piano dimainkan oleh salah seorang sepupu, semakin menghidupkan suasana.

"Kenapa kamu menatap Abra begitu?"

"Hah?"

Ah, benar. Ternyata sejak tadi aku menatap Abra tanpa sadar. Suamiku itu awalnya pamit ingin mengambil makanan, tapi sampai saat ini belum juga kembali. Kulihat dia sedang berinteraksi dengan dua orang tante dan para sepupu perempuanku di bawah pohon tak jauh dari meja prasmanan. Para wanita itu tampak antusias, tapi Abra hanya memberikan respon seadanya berupa anggukan dan ucapan singkat sebagai balasan atas ucapan mereka. Gestur kaku itulah yang membuatku salah paham selama ini.

Abra tampak gagah dengan setelan batik coklat dan celana panjang coklat susu yang senada dengan gaun dan jilbabku. Kulit kuning langsat khas Indonesia-nya terpancar begitu menarik meski terlindungi dari sinar matahari yang cukup terik. Baju pengantin kami memang sudah dilepas sejak tadi karena kata Abra dia tak nyaman jika harus memakai pakaian yang sama setelah sholat. Aku hanya mengiyakan saja, toh sejujurnya gaun panjang itu juga cukup menyulitkan. Pergerakanku tak bisa bebas karena lebar bagian bawahnya cukup terbatas. Lagipula acara pernikahan sudah berakhir. Kami berkumpul disini hanya untuk makan siang bersama karena besok para saudara dan sepupu akan pulang ke rumah mereka masing-masing.

Sebenarnya aku tak mau keluar dari kamar. Saat Abra pulang dari masjid untuk menunaikan sholat zhuhur berjama'ah tadi, aku malah sudah mengenakan piyama tidurku dan kembali membenamkan diri di bawah selimut. Aku belum siap untuk bertemu orang-orang di bawah sana, apalagi keluarga Abra. Tapi Abra dan segala argumentasinya yang tak bisa ditolak membuatku-terpaksa-mengalah.

Tidak terpaksa juga, karena sekarang aku senang sudah menuruti ucapannya.

Usaha pertama Abra untuk menyeretku keluar dari kamar adalah dengan mengimingiku makanan enak. Tapi begitu bujukan itu tidak mempan meski perutku sedang kelaparan, dia mengatakan bahwa dirinya sedang lapar dan memintaku untuk menemaninya makan. Apa aku terlihat seperti seorang perempuan yang begitu keras hati sampai mengabaikan orang yang kelaparan? Jawabannya tidak. Apalagi sekarang aku sudah sadar sesadar-sadarnya bahwa Abra adalah suamiku. Lelaki yang harus aku hormati karena dia adalah ladang pahala yang baru untukku.

"Tidak akan ada yang terjadi." Kata Abra tadi—saat aku memoleskan make up tipis di wajah. Dia tersenyum hangat dan mengusap pelan kepalaku seolah mengerti bahwa hatiku sedang dilanda kegalauan memikirkan apa yang kira-kira akan terjadi diluar sana. Aku khawatir keluarga Abra akan memandangku remeh, atau menatapku dengan tatapan yang berbeda setelah kekacauan tadi.

"Baik keluarga Mbak ataupun keluarga saya ... mereka akan mengerti." Katanya lagi.

Dan benar saja. Keluarga Abra sama sekali tak mempermasalahkan insiden yang terjadi tadi. Mereka mengajakku mengobrol seperti biasa, menanyakan banyak hal seperti bagaimana keadaanku sekarang, dan apakah Abra memperlakukanku dengan baik atau tidak. Ibu dan Pakdhe Fathan-salah seorang paman Abra malah menyuruhku agar istirahat saja di kamar kalau aku merasa belum sehat benar.

JODOH By Axelia (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang