Part 03

18.7K 2.5K 82
                                    

Ehhh...lagi pengen khilaf update Axelia,. Gimana dong?

Hehe...selamat malam manteman dan kakkakak, semoga sehat selalu dimana saja berada. Aamiin...

Enjoy yaa, vote dan komen jangan lupa! Mana tau khilafku berterusan. Wkwkwk

***

'Just like a sprig rose beside the cliff. Danger but beautiful. Good morning Axel...'

Aku mengaktifkan kunci layar dan meletakkan ponsel diatas meja, mengabaikan pesan yang baru saja masuk. Meski nomornya tak tersimpan di kontak, tapi aku tahu dengan sangat jelas siapa pengirimnya. Siapa lagi yang hobi mengirimiku pesan lebay seperti itu kalau bukan Roy?

Aku melirik kopi yang tadi diletakkan Luna diatas meja. Kopi pagi dari Roy.

Aku menyukai kopi meskipun tak semaniak Aldrich. Aku meminum kopi hanya sebagai rutinitas pagi, dan kopi yang biasanya dibelikan Roy selalu menjadi favoritku. Tapi entah kenapa, beberapa hari ini rasa kopi itu tak lagi membuatku tergugah. Aku kehilangan selera. Apa yang salah dengan kopi itu?

Atau aku yang berubah?

Seminggu berlalu sejak kejadian makan siang dengan Eyang dan Papa, aku kembali menjalankan rutinitas seperti biasa. Berusaha bangun pagi seawal mungkin supaya tak kesiangan sholat subuh, sarapan pagi, kemudian berangkat ke rumah sakit. Pulang ke mansion pukul lima sore, bersantai, kemudian tidur pukul sepuluh malam jika sedang tak ada pekerjaan lain. Tapi ada rutinitas baru yang bertambah selama seminggu ini : Eyang yang seringkali menyodorkan calon-calon suami yang katanya potensial padaku.

Jujur saja aku bingung. Selama ini beliau tak pernah begitu terobsesi menyuruhku menikah. Setiap kali aku membahas pernikahan, Eyang selalu mengatakan bahwa usiaku belum cocok untuk membangun mahligai rumah tangga. Tunggu beberapa tahun lagi! Tapi kenapa sekarang pendirian itu tiba-tiba saja berubah? Apa dia baru sadar kalau cucunya ini makin tua?

"Apa sudah bisa dimulai dokter?" suara Luna yang terdengar dari interkom membuatku menghela napas. Aku membungkus tubuhku dengan snelli, kemudian mengganti heels-ku dengan sandal karet kemudian berkata, "Ya, panggilkan pasien pertama masuk, suster Luna."

Pintu ruangan terbuka. Seorang wanita hamil berjilbab yang berusia sekitar akhir usia tiga puluhan masuk didampingi oleh suaminya, seorang pria berkulit kecoklatan dan bertubuh tambun. Aku mengulas senyum ramah, kemudian mempersilakan sepasang suami istri itu duduk di depanku.

"Assalamualaikum, selamat pagi Ibu Rahayu dan bapak Yudi. Apa kabar?"

Sepasang suami istri itu tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan ramah. Karena masih banyak pasien yang mengantre, pemeriksaan rutin bulanan pun dimulai. Ibu Rahayu naik keatas brankar dibantu oleh suaminya sementara aku mempersiapkan alat untuk USG. Suster Rada mempersiapkan berkas-berkas untuk mencatat hasil pemeriksaan nantinya.

Ibu Rahayu menjalani kehamilan yang cukup beresiko karena kondisi kandungannya yang lemah dan usianya yang sudah hampir masuk empatpuluh tahun. Selama tujuh bulan menjalani masa kehamilan, sudah dua kali dia di-opname karena pendarahan. Aku ikut trenyuh saat melihat kondisi fisiknya yang terkadang lemah dan pucat, tapi saat melihat semangatnya yang luar biasa memperjuangkan buah hatinya, semangatku pun ikut terpacu. Pengorbanan seorang ibu memang sangat luar biasa.

Menjadi seorang dokter kandungan bisa dikatakan sebagai terapi untukku. Melihat bagaimana teguhnya seorang ibu yang melindungi anak di dalam kandungan yang bahkan belum pernah ditemuinya membuatku terharu. Melihat tangis bahagia mereka saat sang buah hati lahir ke dunia membuatku terkadang ikut meneteskan airmata. Hatiku mengumandangkan doa dengan setitik harapan, semoga saat mengandung diriku dulu, Mama juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh para ibu itu. Semoga Mama juga bahagia.

JODOH By Axelia (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang