Assalamualaikumdanselamatpagisemuanya...
Axel update lagi! Hehe...
Yang pada nungguin notif mana suaranya? Ayo acungkan tangan! :D
Selamat membaca, jangan lupa vote dan komen ya!
Ah ya, mau WARNING dulu : Ini part nano-nano kalo kata aku. Gak tau part sedih atau bahagia, kalian putuskan sendiri.
***
Disinilah aku berada. Duduk di depan meja rias dengan wajah tertekuk murung karena tak mampu menyingkirkan sisa-sisa kesedihan semalam. Make up airbrush yang dipoleskan oleh Sophia selama berjam-jam nyatanya tak mampu menyembunyikan kesedihanku. Gaun putih dan pashmina panjang hasil rancangan desainer nomor satu Singapura yang melekat di tubuhku pun seakan hilang keindahannya karena sang pengantin kehilangan keceriaannya.
Ya, hari ini adalah hari pernikahanku.
Aku melirik jam besar yang tergantung di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, masih ada sisa setengah jam sebelum Abra dan rombongannya tiba. Aku menghela napas dan beristighfar, mencoba meyakinkan hati bahwa inilah yang terbaik. Inilah yang aku inginkan. Aku membuat keputusan yang tepat.
Aku sudah berjuang sejauh ini. Merayu pada Allah agar diberikan pelengkap iman yang mampu membimbingku menuju akherat yang bahagia, dan begitu sosok itu sudah hadir aku tak ingin menampik kehadirannya hanya karena sebuah kisah sedih di masa lalu. Aku tak sebodoh itu, menyia-nyiakan berlian karena keegoisan semata.
Abra berharga. Bagaimanapun kepalaku mengingkari kenyataan itu dengan alasan-alasan yang terdengar cukup masuk akal seperti kekakuan dan ketidakpekaannya, tapi hatiku selalu berhasil memenangkan perdebatan dan memintaku memperjuangkannya.
Aku kembali mengingat perbincanganku dengan Eyang tadi malam. Begitu aku keluar dari kamar, aku langsung menuju Eyang yang tampak sedang asyik menikmati pemandangan para saudara-saudaraku yang bergembira ria di taman belakang dari atas balkon kamarnya. Mereka tak tahu bahwa kegembiraan mereka itu nyaris saja sirna tak berbekas jika saja aku memutuskan untuk membatalkan pernikahan.
"Belum tidur?" Eyang bertanya begitu aku datang dan berdiri di sampingnya. Aku menggeleng.
"Sudah tenang?" Eyang bertanya lagi sembari menepuk-nepuk kepalaku yang tertutup kerudung dengan sayang. Kali ini aku mengangguk.
"Jadi ... bagaimana?"
"Aku ... memutuskan untuk ... melanjutkan pernikahan ini." Aku menjawab pelan. Jari telunjukku mengelus pelan ukiran henna yang tampak begitu cantik. Mengikuti alurnya, kemudian memutar pelan cincin berlian kecil yang tersemat di jari manis. Mulai besok, cincin ini akan digantikan dengan cincin yang baru. Cincin yang akan menegaskan bahwa mulai di detik ianya tersemat di jariku, aku sudah resmi menjadi milik Abra. Lahir dan bathin.
Aku merasakan pelukan hangat dan elusan lembut di punggung, membuat mataku memanas lagi. "Aku akan baik-baik saja kan, Eyang?" tanyaku gamang. "Keluarga Abra ... mereka baik-baik saja dengan statusku, kan? Kata Ibu tadi di telepon, beliau tidak keberatan sama sekali menerimaku menjadi menantu."
"Tentu saja baik-baik saja!" Eyang menjawab cepat seraya terkekeh pelan. Masih ada kegetiran. "Cucu Eyang ini adalah perempuan yang hebat, tidak akan ada calon mertua yang bisa menolaknya."
Aku mengangguk, tersenyum sedikit lega. Rasanya memalukan saat di pernikahan nanti namaku tak dinasabkan dengan nama Papa. Tapi mau bagaimana lagi? Toh semua sudah berlalu, dan mungkin memang inilah jalan takdir yang dituliskan Allah untukku. Aku harus ikhlas kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...