Assalamu'alaikum dan selamat sore..
Axel update lagi...
Apakabar hari ini semuanya? Sehat ya?
Pada heran gak update-an lumayan lancar? Sama, aku juga heran :D
Selamat membaca yaaa...jangan lupa vote dan komen, okay?
***
Persiapan pernikahan berjalan lancar sejauh ini. Seminggu setelah pertunangan, aku sudah mengukur baju pengantin, menentukan desain undangan dan memilih souvenir. Urusan yang lain kuserahkan semuanya pada Papa seperti permintaan beliau. Tapi...rencana Papa untuk mengurus sendiri pernikahanku tentu saja tak berjalan lancar. Eyang-seperti biasa-pasti tak mau ketinggalan untuk ambil bagian, membuat Papa marah bukan main. Tapi aku sangat bersyukur mereka tetap bisa kompak meskipun masih sering terlibat adu mulut.
Entah sejak kapan dimulainya, aku suka tersenyum sendiri saat melihat cincin emas putih bertahtakan berlian kecil yang melingkar di jari manisku. Cincin itu sama sekali tak mewah seperti perhiasan-perhiasan koleksiku yang tersusun rapi di lemari khusus di mansion, tapi disitulah letak keunikannya. Kilau cantiknya membuat jantungku berdebar-debar, sama halnya seperti saat aku tak sengaja mendengar nama Abra atau merapalkan namanya dalam setiap doa-doaku belakangan ini.
Aku menjadi calon pengantin yang cukup berbahagia meski calon suami brondongku yang kaku itu tak pernah memberikan kabar sama sekali. Dia bersikap cuek dan tak pernah bertanya aku sedang apa, apakah sudah makan atau belum, sudah sholat atau belum, sudah pulang dari rumah sakit atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung perhatian seperti pasangan lainnya. Aku terkadang gemas juga. Aku ingin dia sedikit menunjukkan perhatiannya, tapi sisi waras mulai menyergah sisi mellowku dan memperingatkan bahwa itu semua adalah pintu syaithan untuk menggodaku.
Disinilah aku baru menyadari pentingnya bagi seorang muslim atau muslimah untuk menundukkan pandangan, pikiran dan juga hati. Menundukkan pandangan saja tak cukup karena saat mata tak melihat, pikiran dan hati masih bisa membayangkan. Selama ini aku selalu lalai dalam urusan menjaga pandangan. Aku tetap menatap Roy ataupun Mario, bercanda dan tertawa tanpa beban dengan mereka karena kupikir, toh aku tak mencintai mereka. Bahkan aku sudah menganggap mereka saudara sama seperti Aldrich. Jadi tak akan ada hal buruk yang terjadi, kan?
Ya, itu memang persepsi yang salah. Tapi percayalah, saat kalian sudah terbiasa dengan kehidupan hedonis sepertiku, akan sangat sulit untuk benar-benar berubah. Menurutku, kehidupanku saat ini sudah sangat jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupanku dulu yang begitu bebas. Oke, Aldrich itu kasus lain. Hidupnya penuh dengan drama. Dia sampai di tahap dirinya yang sekarang melalui kesakitan dan penderitaan panjang. Tapi aku? Hidupku mulus-mulus saja, tak ada masalah berarti selain tentang pekerjaan dan rumah sakit.
Oke, kita kembali ke pembahasan.
Abra bahkan lebih memilih meminta bantuan Aldrich untuk bertanya mahar apa yang kuinginkan daripada bertanya sendiri padaku. Aku mengerutkan dahi begitu menyadari orang yang dimintai tolong olehnya itu tinggal nun jauh di benua Eropa sana. Hanya untuk satu pertanyaan itu saja dia harus menelpon ke Inggris dulu? Benar-benar! Aku sampai speechless dibuatnya.
Kukatakan pada Aldrich, Abra bebas memberikanku apa saja selama hal itu masih dalam kesanggupannya. Aku mengerti, meski sekarang Abra sudah menjadi CEO di perusahaan milik Aldrich, tapi latar belakang finansial keluarga kami sungguh berbeda. Aku tak ingin membebaninya disaat kami bahkan belum resmi menjadi suami istri. How sweet, kan? Eyang dan Papa juga sudah mewanti-wanti, saat menikah nanti kehidupanku akan berubah drastis. Mungkin saja aku dituntut untuk tak lagi shopping gila-gilaan karena memang keadaan sudah berubah. Aku harus belajar berhemat. Dan menggunakan uang Eyang atau uang Papa terlalu sering jelas bukan pilihan yang baik karena ego setiap suami pasti akan terluka jika istrinya menggunakan uang orang lain untuk mencukupi kebutuhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH By Axelia (SELESAI)
SpiritualKonsep pernikahan yang diimpikan Axelia adalah hidup yang Islami, penuh kasih sayang dan canda tawa. Gadis berusia duapuluh delapan tahun itu menginginkan seorang pendamping yang bisa mengimbangi sifat gila dan plin-plannya. Tapi, saat Eyang Bramast...