4. Cemburu

5K 920 120
                                    

"Sibuk amat, Bund?"

"Hmmm..." gumam Aruna singkat. "Wedang jahenya di meja, Mas. Sebentar lagi aku selesai."

Runa mendengar lelaki itu membalas bergumam juga, pertanda sudah mendengar informasi darinya barusan. Kemudian jari-jarinya kembali menari di atas laptopnya.

Sepuluh menit kemudian ia mengetikkan tiga tanda bintang di bagian terbawah tulisannya, sebagai tanda penutup bab. Sekilas ia mengecek sekali lagi, lalu menyimpan file tersebut, dan mematikan laptopnya.

Ketika ia bangkit dari kursinya dan berbalik, ia menemukan lelaki yang tadi ditawarinya wedang jahe sudah duduk bersandar pada kepala ranjangnya, menyesap wedang jahe pelan-pelan sambil menatap padanya.

"Lagi sibuk apa sih?" tanya lelaki itu.

"Nulis novel, Mas," jawab Runa sambil melangkah menghampiri ranjang, lalu duduk di sebelah suaminya.

"Novel?"

"Yang waktu itu aku cerita itu lho, Mas. Aku kan ikutan kelas menulis yang diadakan salah satu penerbit. Nah mereka juga bikin lomba menulis novel. Kalau tulisanku lolos, kan kali aja bisa diterbitkan, Mas."

Runa sudah bercerita dengan antusias. Tapi dari ekspresi suaminya, Runa segera sadar bahwa kemungkinan suaminya sudah lupa atau tidak memperhatikan ceritanya beberapa minggu yang lalu tentang kelas menulis atau lomba menulis ini.

"Oh kirain lagi nulis paper ilmiah gitu, sampe mukanya serius amat, sampai suaminya dicuekin pas pulang kerja..."

Sebenarnya Runa tidak benar-benar mengabaikan Raka sepulang kerja kan? Ia tetap membukakan pintu, membuatkan wedang jahe. Hanya saja, sambil menunggu suaminya mandi, ia memanfaatkan waktu untuk melanjutkan tulisannya, mumpung inspirasi di kepalanya sedang lancar. Dan ketika suaminya keluar dari kamar mandi tadi, Runa sedang tanggung. Kalau ia berhenti menulis saat itu, bisa jadi ia melupakan idenya atau tidak lagi mendapat feel yang sama saat melanjutkannya esok hari. Ia bukan penulia profesional yang terus bisa menulis tanpa dipengaruhi mood. Ia hanya penulis amatir yang mengumpulkan remahan ide, data, mood dan feeling untuk menulis. Jadi kali itu mumpung ide dan moodnya sedang baik, ia mengoptimalkannya. Toh ia hanya membuat suaminya menunggu selama 10 menit kan, bukan seperti dirinya yang sering menunggu suaminya pulang kerja hingga hampir tengah malam.

Meski demikian, meski hanya 10 menit, Runa merasa tidak enak hati juga karena sempat mengabaikan suaminya. Ia baru saja akan meminta maaf, ketika suaminya melanjutkan kata-katanya.

"... Ternyata novel doang. Pasti novel cinta-cintaan cengeng-cengeng gitu ya?"

Antusiasme di wajah Runa memudar. Dia mengangguk kecil menjawab pertanyaan suaminya. Yang sedang ditulisnya selama beberapa minggu ini memang hanya novel roman. Barangkali bagi Raka, itu hanya novel cengeng. Tapi bagi Runa, ini sesuatu yang baru dan besar. Biasanya ia hanya menulis artikel-artikel pendek atau cerpen di sebuah komunitas menulis online. Pernah juga ia menjadi salah satu penulis dalam buku antologi cerpen. Namun baru kali ini ia bertekad menulis sebuah novel panjang. Jadi ketika suaminya menganggap apa yang sedang dikerjakannya hanya sebuah novel cengeng, semangat Runa anjlok.

"Emang ceritanya tentang apa?" tanya Raka.

Bagi Runa, pertanyaan itu tidak terdengar seperti pertanyaan penasaran atau antusias. Entah kenapa Runa merasa nada suara suaminya seperti sedang meremehkan.

"Temanya tentang perjodohan," jawab Runa singkat. Melihat ekspresi suaminya, dia jadi malas menjelaskan bahwa novel yang sedang ditulisnya bukan semata tentang perjodohan.

Raka tertawa kecil. "Jaman sekarang masih jaman jodoh-jodohan mak comblang gitu?"

Runa malas menjawab.

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang