Ketika Runa datang kembali ke kamar rawat ibu mertuanya keesokan paginya, sang ibu sudah bangun. Wajahnya masih lesu, tapi beliau menyambut Runa dengan senyum.
"Alhamdulillah Ibu udah bangun," kata Runa, dengan senyum lebar penuh kelegaan. "Udah mendingan, Bu?"
Runa lalu memeluk ibu mertuanya. Yang dibalas dengan belaian di punggung Runa.
"Sudah, alhamdulillah," jawab sang ibu mertua sambil tersenyum lemah ketika Runa melepaskan pelukannya. "Kamu yo kok ikut kesini tho Ndhuk? Anak-anak piye?"
"Anak-anak tinggal di rumah Eyang-nya, Bu. Tenang aja," jawab Runa sambil meletakkan kotak-kotak tupperware di meja yang tersedia di depan sofa untuk penunggu pasien. Kemudian ia menoleh pada Raka dan ayah mertuanya yang sedang duduk di sofa. "Sarapan dulu, Pak, Mas," katanya sambil membuka kotak-kotak itu.
Semalam Raka dan ayahnya memang menginap di rumah sakit untuk menjaga sang ibu, sementara Runa menuruti kata-kata ayah mertuanya untuk istirahat di rumah. Jadi baru pagi ini Runa mengunjungi ibu mertuanya, sambil membawakan sarapan untuk kedua pria itu.
Runa juga meletakkan gelas kertas berisi kopi di hadapan Raka, dan gelas kertas berisi teh hangat di hadapan ayah mertuanya. Ia membelinya dari kantin rumah sakit.
"Makasih," kata Raka, bersamaan dengan ayahnya yang juga mengucapkan, "Makasih, Ndhuk."
"Sami-sami, Pak," jawab Runa sambil tersenyum pada ayah mertuanya. Tapi ia tidak melirik atau menyahuti Raka.
"Tadi subuh Raya telepon Runa, Bu. Katanya masih berusaha nyari tiket pulang," kata Runa sambil melangkah kembali mendekati ranjang ibu mertuanya, lalu duduk di kursi di sampingnya. "Lagi peak season, jadinya susah dapet tiket pulang."
"Telepon Raya lagi, Run," kata sang ibu cepat. "Bilang ndak usah buru-buru pulang. Ibu sudah ndak apa-apa. Pulang sesuai jadwal aja, setelah conference selesai."
Runa tersenyum lalu menepuk-nepuk tangan ibu mertuanya yang mulai keriput.
"Barusan Ibu marahin Raka. Ngapain mesti dateng kesini, ngajak kamu segala. Telepon aja cukup. Ini kan ndak parah."
"Mas Raka jangan dimarahin, Bu. Runa yang ajak Mas Raka kesini. Kan kami sayang sama Ibu, khawatir sama Ibu."
"Oalah, Ndhuk, Ndhuk!" Mata ibu Raka berkaca-kaca. "Ibu jadi ngerepoti kalian. Kalian jadi harus mengorbankan anak-anak dan kerjaan demi Ibu."
Runa terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Ngerepotin apa sih Bu. Yang namanya pengorbanan itu kalau salah satu pihak ada yang merasa berkorban, merasa dikorbankan atau merasa dirugikan. Kalau sama keluarga ya namanya bukan pengorbanan lah Bu. Karena didasari rasa sayang dan cinta pada keluarga, yang kami lakukan sekarang ini namanya prioritas, Bu, bukan pengorbanan. Saat ini, prioritas kami adalah kesembuhan Ibu."
Raka yang hendak menyuapkan makanannya seketika mematung. Tangannya menggantung beberapa sentimeter di hadapan mulutnya. Tiba-tiba ia merasa tertampar oleh kata-kata Runa, padahal Runa tidak sedang bicara padanya.
Aku bahkan mengorbankan jadwal praktikku beberapa hari ini untuk menunjukkan kesungguhanku mau berubah.
* * *
Setelah beristirahat beberapa jam, sore itu Raka kembali ke rumah sakit. Giliran ia menemani sang ibu malam itu hingga keesokan paginya, menggantikan Runa yang sudah menemani ibunya sejak pagi hingga sore hari.
"May baru kelar mandi sama Mbak Siti. Icad lagi main game yang diajarin Om Ganes, Bun."
Itu adalah kalimat pertama yang didengar Raka ketika memasuki kamar rawat ibunya. Ia mengenali suara itu sebagai suara anak sulungnya.
Kenapa baru masuk langsung dengar nama Ganes? Bikin mood rusak aja! Dan kenapa kelihatannya laki-laki itu akrab banget sama Icad, pikir Raka sinis.
"Inget ya, jangan main game melulu. Belajar! Udah ngerjain PR belum?"
Kali itu Raka mendengar suara Runa. Ia menyibak tirai di ruang rawat tersebut dan mendapati istri dan ibunya sedang melakukan video call. Sepertinya dengan Risyad.
"Uti udah sembuh kan?" Lalu suara dari ponsel berganti dengan suara cempreng Rumaisha. Sepertinya gadis kecil itu menginterupsi percakapan Risyad dan ibunya.
"Udah, Sayang, Uti udah sembuh. Makasih ya doain Uti," jawab ibu Raka sambil tersenyum pada wajah Rumaisha di layar ponsel. Ketika melihat Raka datang, sang ibu mengerlingkan matanya menyambut Raka.
"Kalau Uti udah sembuh, Bunda bisa pulang ya?"
"Iya, Sayang. Nanti Bunda pulang ya. Maaf ya Uti pinjem Bunda dan Ayah sebentar," jawab ibu Raka. "Eh, ini ada Ayah."
Sang ibu kemudian memutar ponselnya sehingga layarnya menghadap Raka yang sedang mendekat ke ranjangnya. Saat itu Raka segera mendapati wajah Risyad dan Rumaisha di layar ponsel.
"Ayah!!!" pekik Rumaisha girang.
"May! Cad!" panggil Raka antusias.
Sejak pertengkarannya terakhir dengan Runa, Runa melarangnya bertemu dengan anak-anak di hari kerja. Istrinya hanya memperbolehkan Raka berkunjung di hari Minggu, agar tidak mengganggu waktu praktiknya. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, Raka memaklumi sikap Runa. Ini memang kesalahannya yang mengungkit tentang mengorbankan jadwal praktik. Wajar saja Runa jadi marah.
"Ayah kangen," kata Raka. "Kalian kangen nggak?"
"Kangen banget, Yah!" jawab Rumaisha. Membuat Raka tersenyum dengan hati hangat. Meski demikian, Risyad yang duduk di belakang Rumaisha tampak hanya diam. "Kalau Uti udah sembuh, Ayah pulang juga kan bareng Bunda?"
"Eh?"
"Sekalian jemput May dan Mas Icad pulang ke rumah kan, Ayah? Udah lama banget nih di rumah Eyang."
Raka melirik Runa yang tampak salah tingkah di samping ibu mertuanya.
"Iya, nanti Ayah ikut ke rumah Eyang, May." Alih-alih Raka, Runa yang menjawab pertanyaan Rumaisha. Kata-katanya diplomatis, meski agak gugup.
Raka sadar, saat mengatakan hal itu Runa tidak ingin sang ibu yang baru saja terkena serangan jantung akan terkejut lagi jika sampai tahu kondisi rumah tangga mereka. Tapi di sisi lain, kata-kata Runa juga sebenarnya tidak menjanjikan apa yang diminta Rumaisha. Ia hanya mengelak sementara, agar anak-anak tidak mendesak di hadapan sang nenek.
Setelah melanjutkan ngobrol beberapa saat, dan anak-anak sudah ber-dadah-ria dengan Uti-nya, Runapun mengakhiri percakapan video dengan anak-anaknya.
"Anak-anak di rumah Eyangnya udah lama?" tanya ibu Raka. Beliau menoleh pada Runa dan Raka bergantian, dengan wajah bingung. Sebab setahu beliau, anak-anak dititipkan di rumah besannya karena Runa dan Raka pergi ke solo, yang artinya baru sejak kemarin. Jadi kenapa tadi Rumaisha bilang bahwa mereka sudah lama disana?
"Iya Bu. Sejak sehari setelah Anin nikah," Runa menjawab jujur. Raka yang duduk di sisi ranjang sang ibu deg-degan menunggu jawaban Runa. Jangan sampai perempuan itu jujur tentang kondisi rumah tangga mereka di saat sang ibu baru saja terkena serangan jantung. "Anin dan suaminya kan bulan madu, Bu. Jadi Runa dan anak-anak tinggal sementara di rumah Mama, nemenin Mama."
"Lama juga ya bulan madunya? Belum pulang juga sampai sekarang?" tanya ibu Raka lagi. Seingatnya ini sudah hampir dua pekan sejak acara pernikahan Anindya.
"Oh, bulan madunya cuma 3 hari sih Ma. Tapi setelah Anin pulangpun, anak-anak masih pengin nginep di rumah Eyangnya, jadinya kami belum balik ke rumah. Tapi sekarang kayaknya mereka mulai kangen rumah."
Ibu Raka menatap Runa dan Raka bergantian. Dengan tatapan menelisik. Tapi kemudian beliau bergumam, "Ohh..." sambil manggut-manggut.
"Oiya Bu, karena Mas Raka sudah disini, Runa pamit pulang dulu ya, Bu. Besok pagi Runa kesini lagi nemenin Ibu," kata Runa kemudian, sebelum ibu mertuanya bertanya lebih jauh dan ia harus berbohong lebih banyak lagi.
* * *
Happy monday, Kak!
KAMU SEDANG MEMBACA
WAKTU YANG SALAH
RomanceWORK SERIES #2 Tidak ada yang salah dengan rasa cinta. Tapi jika ia hadir di waktu yang salah, apakah ia masih bisa disebut cinta? ((Cerita ini merupakan salah satu dari beberapa cerita para penulis Karos Publisher tentang aplikasi kencan online: Ma...