14. Delapan Tahun Lalu

3.4K 756 60
                                    

Yang vote cerita ini ga banyak ya? Syedih 😩😩😩

* * *

Delapan tahun yang lalu...

Runa memasuki mobil dengan senyum sumringah. Suaminya sudah bersiap di balik kemudi, menyambut dengan senyuman.

"Ceria banget kamu. Baru naik gaji?" tanya Raka pada istrinya, sambil mulai menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir Prima Hospital.

Runa tertawa. Tentu saja dia merasa senang dan antusias. Setelah beberapa tahun bekerja di sana, akhirnya Runa dipercaya menjadi farmasis klinis penanggung jawab di ruang rawat inap. Tentu saja posisi itu bukan posisi tertinggi di Instalasi Farmasi Prima Hospital, tapi setidaknya setahap demi setahap ia mendapatkan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar. Lebih daripada sekedar kenaikan tunjangan atau gaji karena tanggung jawab baru tersebut, hal tersebut membuatnya merasa tertantang dan bersemangat.

"Mas juga kayaknya ceria banget. Dapet bonus?" Runa balik bertanya, karena melihat ekspresi suaminya yang tidak kalah cerahnya.

Raka tertawa. "Ini lebih dari bonus!"

"Oh ya? Apa tuh yang lebih menyenangkan daripada dapet bonus?"

"Aplikasi beasiswaku diterima! September ini kita pindah ke Leiden!" jawab Raka bersemangat. Kelewat bersemangat.

Runa harusnya sudah tidak kaget lagi dengan berita itu. Sejak dua tahun sebelumnya, Raka memang sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi doktoralnya. Runa sendiri menjadi saksi saat proposal Raka tidak mendapat sambutan baik dari beberapa calon promotor yang didekatinya. Hingga akhirnya proposalnya diterima karena sejalan dengan penelitian calon promotornya di Leiden University Medical Center (Leids Universitair Medisch Centrum/ LUMC) beberapa bulan lalu. Jadi harusnya Runa ikut merasa senang ketika sekarang aplikasi beasiswa yang Raka ajukan ke salah satu lembaga pemberi beasiswa di Indonesia juga disetujui.

Raka menoleh pada istrinya. "Musim dingin kita bisa mainan salju. Musim semi kita ke Keukenhof. Musim panas kita bisa Eurotrip berdua. Pasti seru! Berasa bulan madu kan? Barangkali kita juga bisa konsul sama ginekolog disana dan kali aja program kehamilan kamu bisa berhasil. Gimana? Sounds interesting, right?"

Tentu saja hal-hal itu terdengar seru. Rencana Raka untuk mengajak Runa menemaninya kuliah doktoral juga sangat masuk akal. Apalagi karena hingga dua tahun pernikahan mereka, Runa belum juga hamil. Jadi bisa tinggal bersama suaminya di luar negeri, tentu serasa bulan madu kan. Barangkali memang dengan demikian Runa akan bisa hamil pada akhirnya.

Tapi anehnya, kenapa Runa tidak antusias? Apakah karena berita baik yang disampaikan suaminya bertepatan dengan dipromosikannya dirinya pada posisi dan tanggung jawab yang lebih tinggi? Jika ia ikut suaminya untuk tinggal di Leiden, bukankah itu berarti ia harus menolak promosi jabatan yang telah dinantikannya sejak lama itu? Bukankah itu artinya ia harus melepas pekerjaannya?

"I feel so excited, Honey!" kata Raka dengan senyum lebarnya. "Ini berita bagus kan? Kamu juga senang dengarnya kan?"

Runa tersenyum pada suaminya. Bukankah kalau suaminya bahagia, dirinya juga harusnya ikut bahagia.

* * *

"Runa juga ikut menemani Raka ke Belanda kan?" tanya ibu mertua Runa melalui video call malam itu. Raka memang sengaja mengajak Runa untuk video call dengan orangtuanya di Solo, untuk mengabarkan berita tentang beasiswa itu.

Runa masih galau dan belum menjawab ketika Raka sudah menjawab lebih dahulu. "Ikut dong, Bu!" jawab Raka tanpa ragu.

Wajah ibu Raka langsung sumringah. "Alhamdulillah. Ibu tenang kalau Runa ikut. Raka jadi ada yang ngurusin."

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang