20. Uang Tak Kenal Saudara

3.6K 908 165
                                    

Raka baru saja selesai sholat Isya dan sedang melipat sajadahnya ketika Runa masuk ke kamar. Tangan kanannya yang memegang gelas berisi air mineral meletakkan gelas itu di nakas di sisi tempat tidur Raka. Ia kemudian mengerling pada suaminya, memberi kode tentang gelas air itu. Raka, yang memahami isyarat istrinya, mengangguk lalu mengucapkan terima kasih tanpa suara, hanya dengan gerakan bibirnya. Runapun membalas ucapan itu dengan senyuman dan anggukan kepala, sementara tangan kirinya masih menempelkan ponsel di telinganya.

"Emangnya deadline kirim naskahnya kapan?" Raka mendengar Runa bertanya pada orang di seberang telepon.

Setelah meletakkan sajadah di tempatnya semula, Raka duduk di tempat tidur dan menyandarkan punggungnya pada headboard.

"Saya usahain ya, Nes." Kembali Raka mendengar Runa bicara. "Saya nggak tahu seberapa besar kesempatan saya. Tapi saya berharap banget kali ini."

Dari sekilas obrolan itu, Raka menduga Runa sedang membicarakan naskah novel yang pernah ditulisnya. Barangkali istrinya ingin mencoba kesempatan lain. Lomba menulis novel di penerbit lain, barangkali?

Raka tahu bahwa istrinya suka menulis. Sejak lama, Runa sering menulis di facebook atau di blognya. Biasanya, tulisannya di FB atau blog banyak direspon pembaca. Pun ketika Runa membantunya membuat konten edukasi kesehatan anak di instagramnya, follower IGnya jadi bertambah. Barangkali karena gaya bahasa yang digunakannya pada tulisan-tulisannya ringan, meski saat membahas masalah kesehatan anak yang berat sekalipun.

Belakangan istrinya bahkan juga mencoba menulis novel fiksi. Raka pikir, hal itu hanya iseng-iseng saja, untuk mengisi waktu senggang. Tapi saat melihat kekecewaan Runa ketika naskahnya ditolak, atau saat sekarang melihat istrinya mencoba mengirim naskahnya ke penerbit lain, Raka pikir mungkin kali ini istrinya serius. Apa itu berarti istrinya serius ingin menjadi penulis novel?

"Oke. Saya usahain selesai tepat waktu. Makasih banyak info dan kesempatannya ya, Nes."

Setelahnya, Runa mematikan panggilan di ponselnya itu.

Raka mengira setelah itu istrinya akan menyusulnya ke tempat tidur. Tapi kemudian ia harus kecewa ketika Runa justru duduk di balik meja kerjanya dan mulai membuka laptopnya.

"Anak-anak udah tidur?" tanya Raka.

"Udah, Mas," jawab Runa, selagi menyalakan laptonya. "Sekarang rutinitas menjelang tidur makin panjang, Mas. Nggak cukup cuma bacain satu buku doang, anak-anak suka minta nambah dibacain buku."

"Icad juga? Dia kan udah bisa baca sendiri. Masa masih minta dibacain buku sebelum tidur?"

"Dia suka cemburu, Mas. Meski udah bisa baca sendiri, tapi kalau lihat adiknya dibacain buku cerita, Icad juga minta dibacain buku. Tapi dia minta dibacain eksiklopedi."

Runa terkekeh sendiri ketika menceritakan kelakuan anak sulungnya saat sedang cemburu. Sementara Raka tertawa mendengar cerita Runa.

"Eh, aku numpang di meja sini ya, Mas," kata Runa sambil melirik Raka.

Di kamar itu memang hanya ada satu meja kerja, tempat Raka biasa membaca jurnal-jurnal pediatri dan menulis. Baru belakangan ini Runa mulai sering menggunakan meja itu juga saat menulis novelnya.

"Lho kamu belum mau tidur, Sayang?"

"Belum, Mas. Belum ngantuk."

"Nulis novel lagi? Ada lomba menulis novel lagi?"

"Eh?" Runa tampak bingung dengan pertanyaan Raka.

"Ini ada hubungannya sama deadline naskah yang kamu obrolin sama temen kamu di telepon barusan kan?"

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang