45. Hamil

5.5K 1.1K 150
                                    

"Kamu sakit, Ndhuk?" tanya sang ayah mertua, pagi itu, sambil melirik Runa yang duduk di sampingnya, di kursi penumpang. Sementara itu, supir keluarga sang mertua melajukan mobil menuju rumah sakit tempat ibu mertuanya dirawat.

"Eh?" Runa menoleh pada ayah mertuanya, kemudian mengusahakan seulas senyum. "Runa cuma nggak enak badan sedikit, Pak. Masuk angin kayaknya. Begadang nyelesain kerjaan."

Pagi itu Runa memang merasa kurang enak badan. Pusing dan mual. Karena sudah berhari-hari begadang mengerjakan proyeknya, ditambah kelelahan karena perjalanan jauh dan menjaga ibu mertuanya, pasti ia masuk angin.

"Kita balik pulang aja ya, Run? Biar Bapak aja yang nemenin Ibu pagi ini. Kamu istirahat aja. Kan kemarin kamu sudah nemenin."

"Nggak apa-apa kok Pak. Cuma masuk angin sedikit aja," jawab Runa berkeras. Ayah mertuanya nampak akan mendebat lagi, sehingga kemudian Runa berkata, "Kalau nanti siang Runa makin nggak enak badan, Runa pulang kok Pak."

Mendengar itu, ayah mertuanya mengurungkan protesnya.

"Bener yo, Ndhuk, kalau masih ndak enak badan, istirahat di rumah dulu ya."

"Inggih, Pak," jawab Runa sambil tersenyum. "Oiya, Raya ngabari pulang hari ini Pak. Insya Allah nanti sore sampai disini."

"Iya, tadi malem Raya juga telepon Bapak." Sang ayah mertua kemudian menghela nafas dan menyandarkan punggungnya di kursi mobil. "Harusnya Bapak ndak buru-buru ngabari Raya bahwa ibu kena serangan. Kalian jadi repot semua."

"Lho ya justru memang harus segera ngabarin, Pak. Sama anak sendiri kok sungkan," Runa membantah dengan sopan. "Raya dan Mas Raka tinggal jauh dari rumah. Raya di Jogja, Mas Raka di Jakarta. Pokoknya, kalau ada apapun, Bapak sama Ibu harus segera kabari Raya dan Mas Raka ya, Pak."

Sang ayah mertua tersenyum lembut. "Makasih ya, Ndhuk."

"Makasih apa sih Pak. Lha wong sama anak sendiri lho," jawab Runa sambil terkekeh kecil. Ia ingin mertuanya tidak perlu sungkan mengabarkan apapun kepada anak-anaknya, terutama jika sedang butuh bantuan.

"Makasih sudah jadi menantu Bapak dan Ibu."

Sekonyong-konyong sang ayah mertua mengatakan hal itu sambil menatap Runa dengan tatapan lembut. Demi mendengar kata-kata itu, sekuat tenaga Runa memaksakan senyum dan menahan air matanya.

Kalau sudah begini, bagaimana Runa tega berhenti menjadi menantu Bapak dan Ibu?

* * *

Kehadiran Runa dan ayah Raka di ruang rawat itu disambut dengan berita baik. Dokter yang visite pagi itu mengatakan bahwa ibu Raka sudah bisa pulang. Raka sekarang sedang keluar untuk mengurus administrasinya.

"Runa bantuin beres-beres ya, Bu," kata Runa.

Kemudian ia mengambil tas besar yang disimpan di lemari. Ia mengambil beberapa potong pakaian Ibu dan memasukkanya ke dalam tas besar itu. Ia lalu menghampiri nakas dan berjongkok untuk mengambil beberapa barang yang disimpan di laci nakas, termasuk kue-kue yang dibawakan para penjenguk.

"Udah beres, Bu," kata sebuah suara berat, bersamaan dengan pintu ruang rawat yang terbuka. "Tinggal beres-beres, trus pulang."

Bersamaan dengan itu, Runa juga baru selesai memindahkan isi laci nakas ke dalam tas besar Ibu. Kemudian ia bangkit dari posisi jongkoknya.

Saat itulah Runa merasa dunianya berputar. Pandangannya berkunang-kunang. Lalu alih-alih berdiri, Runa malah terjatuh.

Bapak dan Ibu memekik kaget ketika melihat Runa jatuh. Beruntung posisi Raka ada di dekat nakas, sehingga dengan cekatan ia bisa menangkap tubuh Runa sebelum menghantam lantai.

"Kamu kenapa Run?" tanya Ibu khawatir.

"Kamu sakit?" tanya Raka lembut.

Runa menggeleng lemah. Kepalanya masih pusing, jadi ia menyandarkan kepalanya di dada Raka selagi lelaki itu menggendongnya lalu mendudukannya di sofa.

Saat itu tercium aroma tubuh Raka. Sudah lama Runa tidak mencium aroma ini, sejak ia tidak pernah lagi berada sedekat ini dengan Raka, sejak beberapa waktu lalu ia menjauhi lelaki ini. Dan kini ia sadar, bahwa dia merindukan dada tempatnya bersandar ini, tangan yang memeluknya ini, dan aroma yang memenuhi penciumannya ini.

"Tuh kan, apa Bapak bilang. Harusnya tadi kamu nurut Bapak, Run, istirahat aja di rumah," kata ayah Raka.

"Bapak sudah tahu Runa sakit?" Giliran Ibu yang bertanya pada Bapak. "Kenapa tetap diajak kesini, Pak?"

"Bukan salah Bapak, Bu. Runa yang bandel," kata Runa, dengan suara pelan dan lemah, tapi masih mencoba tersenyum. Ia menatap ibu mertuanya dengan tatapan sayu.

Raka masih mendekap bahu Runa, bahkan setelah mendudukannya di sofa. Kini ia menunduk dan memerhatikan wajah dan bibir istrinya yang tampak pucat.

"Sakit apa, Ndhuk?" tanya sang ibu mertua. Suara lembutnya bernada khawatir.

"Kecapean aja Bu. Karena beberapa hari begadang kerja. Masuk angin juga mungkin."

Melihat raut wajah istrinya, Raka menduga anemia dan hipotensi. Beberapa kali Runa memang pernah mengalami hal seperti ini saat kelelahan.

Tanpa bisa ditahan, Runa bersendawa. Sedikit lega, ia bisa mengeluarkan sebagian angin dari tubuhnya. Tapi kemudian tiba-tiba ia malah merasa mual dan ingin muntah.

Dengan cepat Runa membekap mulutnya, dan menahan diri agar tidak jadi muntah. Ia tidak boleh membuat ibu mertuanya khawatir.

"Mumpung lagi di rumah sakit, sekalian periksa sana, Run," sang ibu mertua mengusulkan. "Biar yakin bahwa itu memang cuma gejala masuk angin, bukan penyakit lain."

"Nggak usah Bu. Beneran ini cuma kecapean dan masuk angin," jawab Runa.

Dalam pandangannya yang samar-samar, ibu Raka tampak menatapnya dengan tatapan menelisik.

"Beneran cuma masuk angin aja? Tapi kamu belum minum obat anti masuk angin kan?" tanya ibu Raka berhati-hati. "Kamu yakin, kamu bukannya hamil, Ndhuk?"

Tanpa sadar, Runa dan Raka refleks saling pandang dengan tatapan yang berbeda ketika mendengar pertanyaan ibu Raka.

Hamil?

* * *

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang