15. Tiga Tahun Lalu

3.6K 735 84
                                    

Siapa Kakak2 di sini yg sebel sama dr. Raka karena dia nggak peka?

Tapi emang banyak laki-laki yg ga peka gitu kan ya? Jadi sebenarnya, kalau mau ditelisik lebih jauh, dalam kasus ini, Runa juga andil kesalahan. Dia harusnya bisa lebih terbuka mengemukakan pendapat. Komunikasi yg baik akan memperkecil kesalahpahaman, daripada cuma mengharapkan laki-laki bisa berubah jadi peka kan.

Tapi kalau Kakak2 memperhatikan, barangkali Kakak2 akan aware, bahwa saat sebelum menikah, Runa termasuk perempuan yang terbuka mengemukakan pendapat (buktinya dia berani nanya, bagaimana sikap Raka kalau mereka nggak punya anak). Lalu kenapa setelah menikah, Runa justru jadi lebih tertutup dan sering sungkan mengemukakan pendapat ya? Adakah Kakak2 yang punya prediksi, kira2 apa alasan Runa jd lbh tertutup setelah menikah?

Nanti pelan2 alasannya akan ketahuan. Sabar ya Kak.

Until then, selamat menikmati cerita ini. Terima kasih sdh selalu mendukung cerita ini.

* * *

Ngomong2, ada berapa banyak Kakak2 di sini yang merasa lamaran dengan kalimat "aku pengin kamu jadi ibu dari anak2ku" itu romantis?

Gara2 baca cerita ini, apakah kalimat itu jadi nggak terasa romantis lagi? Mwehehehe

* * *

Tiga Tahun Lalu...

"Sabar ya, Sayang..."

Cuma itu yang bisa dikatakan Raka sambil memijit pundak dan punggung istrinya yang sedang tidur menelungkup sambil menangis.

"Pasti capek banget ya Bun? Maaf ya aku nggak bisa bantuin," lanjut Raka pelan. "Karena baru bergabung lagi di RS, aku masih agak repot beberapa bulan awal ini."

Meski belum benar-benar lega setelah menangis, Runa akhirnya mengangkat kepala dan tubuhnya, lalu duduk menghadap Raka. Wajah lelaki itu nampak lelah sekaligus bingung, karena baru pulang kerja langsung disuguhi pemandangan istrinya yang menangis.

"Selama 3 tahun di Belanda, aku ngurus anak-anak sendirian, Mas. Capek sih, tapi aku masih bisa handle. Jadi kalau cuma karena capek aja, aku nggak bakal nangis begini," jawab Runa, masih dengan suara sengau sambil menyusut ingus dan menghapus sisa air matanya. Tidak seperti biasa, Raka mendapati intonasi suara istrinya meninggi.

"Jadi, kamu kenapa nangis? Ada masalah apa?" tanya Raka, kali ini lebih hati-hati.

"Si Surti minta pulang kampung. Astagfirullah!"

Lalu Runa kembali menangis. Dan kali ini Raka dengan sigap memeluknya.

Sudah delapan bulan sejak Raka dan Runa, yang kini sudah ketambahan anggota keluarga bersama Risyad dan Rumaisha yang keduanya lahir di Leiden selagi sang ayah menyesaikan studi doktoralnya, kembali ke tanah air. Sejak sebelum kembali ke Indonesia, Runa dan Raka sudah mendiskusikan dan sepakat bahwa Runa bisa kembali bekerja setelah anak-anak bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Tapi ternyata hal tersebut tidak semudah yang direncanakan.

Raka dan Runa memikirkan sejumlah cara untuk memastikan Risyad dan Rumaisha tetap tumbuh dengan baik meski Runa kelak kembali bekerja. Baik jasa daycare, pengasuh, termasuk meminta tolong ibu Runa untuk membantu mengawasi pengasuh yang bekerja sudah pernah dicoba. Tapi sejauh ini belum berhasil.

Entah mengapa sikap Risyad menjadi sangat menantang (kalau tidak ingin dibilang nakal) sejak kembali ke Indonesia. Dia sudah berusia 3.5 tahun saat itu, dan dapat bicara dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Tapi selain kepada Runa dan Raka, Risyad menolak untuk bicara dalam bahasa Indonesia, sehingga pengasuhnya di daycare, pengasuh di rumah, maupun eyangnya (ibu Runa) sulit memahami Risyad. Sejak tinggal di Belanda, Runa sudah menyadari tingkah Risyad yang sangat aktif. Tapi sepertinya tingkat keaktifan motorik Risyad tidak bisa diimbangi oleh para pengasuhnya di Indonesia. Dalam waktu 8 bulan, Surti adalah pengasuh ketiga yang menyerah mengasuh Risyad.

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang