58. Istri yang Baik

5.7K 1.3K 326
                                    


Sudah sebulan sejak Runa dan anak-anak kembali ke rumah. Dan sejak Runa bersedia kembali tidur di kamar bersama Raka, hubungan mereka membaik. Meski belum sepenuhnya pulih seperti sedia kala.

Sebagai istri, Runa adalah perempuan yang ekspresif. Saat pergi bersama, ia refleks menggandeng lengan Raka atau menelusupkan jemarinya diantara jemari Raka. Saat tidur, ia senang ndusel-ndusel di pelukan Raka. Kapanpun ada kesempatan, Runa tidak segan mencolek, mengusap bahu atau punggung, dan memeluk lehernya. Tidak jarang perempuan itu mencuri-curi mencium Raka saat anak-anak sedang tidak di sekitar mereka.

Raka kadang risih dengan sikap Runa itu. Terutama jika itu dilakukan di depan orang lain. Raka merasa Runa genit sekali. Dulu mereka pernah membicarakannya sehingga Raka paham bahwa Runa memang adalah orang yang mengungkapkan perasaannya melalui sentuhan dan ucapan. Tapi meskipun paham, Raka tidak selalu bisa menerima kegenitan Runa.

Raka adalah orang yang tidak peka. Satu-satunya kepekaan Raka hanya muncul saat berhubungan intim dengan Runa. Tiba-tiba saja ia jadi makhluk yang sangat peka terhadap setiap perubahan yang ditunjukkan tubuh istrinya. Dia tahu betul kapan harus bertidak cepat atau mengulur waktu. Dia tahu dimana saja titik sensitif perempuan itu dan bagaimana cara memuaskannya. Dan seperti itu pulalah, satu-satunya kondisi dimana Raka menyukai kegenitan Runa juga adalah saat mereka berhubungan intim.

Runa bukan tipe yang konvensional dalam hal itu. Ia bukan hanya ekspresif, tapi juga inisiatif dan eksploratif. Meski kadang masih merasa risih juga dengan cara Runa bereksplorasi dalam kegiatan mereka, seringnya Raka menikmati inisiatif Runa. Meski kadang Raka yang memulai, tapi Runa yang selalu berinisiatif menggoda Raka lebih dahulu, sehingga Raka tidak pernah mengalami kebingungan bagaimana caranya merayu atau mengajak istrinya.

Tapi sekarang, sejak pertengkaran mereka, Runa tidak bersikap seperti itu lagi. Bahkan meski Runa sudah kembali ke rumah itu, Runa tetap terlihat menjaga batasan. Dia tidak pernah lagi mengusap bahu atau lengan Raka. Bahkan meski mereka sudah tidur bersama lagi, mereka benar-benar hanya tidur di ranjang yang sama, tanpa adanya sentuhan. Perempuan itu tidak pernah lagi ndusel-ndusel pada Raka saat tidur.

Runa tidak pernah menolak jika Raka mengusap tangannya atau bahkan memeluknya, tapi Runa tidak pernah lagi berinisiatif memulai kontak fisik. Satu-satunya kontak fisik yang terjadi diantara mereka yang diinisiasi oleh Runa hanya saat Runa mencium tangan Raka tiap lelaki itu akan berangkat kerja.

Dan hal itu yang membuat Raka uring-uringan. Sudah hampir dua bulan ia tidak mendapatkan haknya sebagai suami dari Runa. Padahal biasanya setidaknya seminggu sekali ia mendapatkannya. Ia ingin memulai, tapi dia tidak tahu caranya menggoda atau mengajak, sebab selama ini Runa yang selalu mulai menggoda. Hubungan intim yang diinisiasi oleh Raka hanya terjadi setiap mereka bertengkar. Raka selalu menggunakan sex untuk meminta maaf atau membuat Runa menyetujui pendapatnya, dan selalu berhasil. Pada akhirnya Runa selalu memaafkan atau meng-iya-kan pendapat Raka setelah mereka berhubungan. Sampai akhirnya di malam itu, Raka tahu bagaimana perasaan Runa jika Raka memaksa berhubungan. Apalagi ketika berdiskusi tentang Bram soal consent dalam hubungan suami-istri, Raka tahu bahwa caranya salah.

Sejak saat itu ia berjanji pada diri sendiri bahwa ia tidak akan memaksa Runa lagi. Tapi sekarang, saat ia menginginkan perempuan itu, bagaimana caranya meminta dengan baik-baik?

Dalam kondisi emosional seperti itu, suatu sore Raka tiba di rumah dan mendapati seorang lelaki berada di rumahnya, bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya.

Sore itu pintu ruang tamu dalam keadaan terbuka saat Raka pulang. Seorang laki-laki yang tidak disukainya duduk di ruang tamu, sedang bermain dengan Risyad dan Rumaisha. Runa baru saja membawakan es sirup cocopandan dan meletakkannya di meja tamu, di hadapan lelaki itu.

Segelas es sirup memang minuman yang tepat untuk hari yang panas seperti hari itu. Tapi hati Raka justru makin panas melihat Runa menghidangkan sirup itu untuk lelaki itu.

"Ayah!" sambut Rumaisha, ketika melihat Raka di depan pintu.

Risyad, Runa dan lelaki itupun segera menoleh ke arah pintu masuk.

"Mas," Lelaki itu bangkit dari duduknya dan menyapa Raka dengan sikap sopan.

Raka mengangguk menanggapi. Tapi tanpa senyum dan tanpa kata.

"Mas." Kali ini Runa menyapa sambil meraih tangan Raka dan menciumnya.

"Barusan Om Ganes ngajarin Icad nyelesain rubik, Yah!" Risyad bercerita dengan antusias tentang lelaki yang berdiri di sampingnya.

Mata Raka beralih pada Risyad, lalu tersenyum. "Anak pintar," kata Raka sambil mengacak rambut Risyad pelan. "Ayah masuk dulu."

Lalu tanpa kata kepada Runa atau Ganes, Raka melanjutkan langkahnya masuk ke kamar.

* * *

Sejak siang matahari bersinar terlalu cerah sehingga hari itu panas sekali. Raka sudah membayangkan, ketika pulang kerja, Runa akan membawakannya segelas sirup dingin. Lalu ia akan menikmatinya sambil bermain bersama anak-anak. Bayangan itu menjadi nyata, tapi bukan dia pemeran utamanya, melainkan Ganes.

Jadi ketika sekarang ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang sudah bersih, dan melihat segelas sirup cocopandan dingin di atas nakas di samping tempat tidurnya, Raka justru merasa panas kembali.

Ia mengabaikan minuman itu, lalu melangkah menuju meja kerjanya. Alih-alih menghabiskan sore bersama anak-anaknya, ia memutuskan untuk bekerja saja. Toh sudah sudah ada yang menggantikan dirinya. Anak-anak tidak merasa kehilangan dirinya.

Ketika matahari makin merah dan perlahan terbenam, Runa masuk ke dalam kamar.

"Lho? Sirupnya belum diminum, Mas? Nggak haus? Atau mau aku bikinin minuman lain? Es jeruk?"

"Laki-laki itu udah pulang?" Alih-alih menjawab pertanyaan Runa, Raka malah balik bertanya.

"Eh? Oh, udah, Mas," jawab Runa hati-hati. "Tadi cuma nganterin dokumen perjanjian dari penerbit. Trus ketemu May dan Icad, main sebentar."

Dengan masih duduk di kursi kerjanya, Raka memandang tajam pada Runa yang berdiri di depan meja kerjanya.

"Aku nggak suka lihat dia dekat dengan kamu dan anak-anak," kata Raka. Nada suaranya jelas terdengar marah. "Aku cinta sama kamu. Makanya aku cemburu melihat dia dekat sama kamu."

"Maaf, Mas."

"Aku nggak peduli kalian ada hubungan apa, atau udah merencanakan masa depan seperti apa. Aku nggak bakal menceraikan kamu. Kamu dengar, Run?"

Runa diam dengan hati terpukul.

"Istri yang baik harusnya nggak membiarkan orang yang nggak disukai suaminya masuk ke rumah suaminya. Apalagi masukin laki-laki lain ke dalam rumah. Istri yang baik harusnya bisa menjaga harga dirinya, nggak membiarkan laki-laki lain mendekatinya. Jangan keganjenan! Kamu masih istriku, Run!"

Tanpa bisa dicegah, mata Runa berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya dan menghela nafas pelan, tidak kentara.

Ia lalu mengangguk sekali pada Raka. Lalu berbalik dan keluar dari kamar.

Istri yang baik....

Harga diri...

Rumah suami...

Diluar pintu kamar, Runa tersenyum pahit. Dia memang bukan istri yang baik.

* * *

Yah Tante Runa cari perkara sih!
Pak Dokter udah mau berubah, Tante Runa malah masih aja deket2 brondong.

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang