26. Perkara Minta Maaf

4.6K 1.1K 147
                                    

Runa tersinggung karena dituduh berselingkuh. Ia juga merasa terhina karena suaminya sendiri merendahkan dirinya. Tapi di sisi lain, ia juga mengerti bahwa dirinya sendirilah yang memicu kemarahan suaminya sehingga mengatakan hal kejam itu. Andai dia tidak terlalu dekat dengan Ganes, barangkali suaminya tidak akan salah paham.

Ibunya pernah bilang, sebelum kita menikah, kita harus menilai calon pasangan kita baik-baik. Jika ada "kriteria nilai mati" pada calon pasangan yang tidak bisa kita toleransi, maka sebaiknya hubungan tidak dilanjutkan. Tidak perlu memaksakan melanjutkan hubungan dengan seseorang yang kita tahu bahwa dia tidak bisa berubah, bahkan meski demi kita. Sebaliknya, setelah kita memutuskan menikah dengan seseorang, kita harus menerima semua yang ada pada dirinya: kelebihan dan kekurangannya. Jangan mudah berpisah hanya karena satu kekurangannya. Sepanjang pasangan tidak masih rajin ibadah, bertanggung jawab pada keluarga, dan tidak pernah menyakiti keluarga, kekurangan kecil lainnya masih dapat ditoleransi.

Oleh karena itu, sebenci apapun Runa pada Raka selepas pertengkaran mereka, Runa berusaha menekan egonya. Ia berusaha mengingat-ingat lagi semua kebaikan suaminya selama ini, dan akhirnya mengalah. Barangkali memang dirinya yang harus mengalah dan meminta maaf.

Tapi, meski ia sudah menekan egonya, ternyata perkara meminta maaf pada Raka tidak semudah itu. Runa sudah menekan gengsinya, mencoba bicara baik-baik, tetap bersikap manis dan tetap melayani semua kebutuhan Raka, tapi sepertinya hati Raka tidak tergerak untuk memaafkannya. Bahkan sudah beberapa hari Raka tidur sambil memunggungi Runa - - hal yang membuat Runa patah hati dan menangis diam-diam tengah malam.

"Mas, hari Minggu nanti jadi ikut fitting seragam keluarga buat nikahannya Anin kan, Mas?" tanya Runa, memulai percakapan pada suatu malam, dengan hati-hati.

Meski mereka sedang bertengkar, tapi karena kurang dari 2 minggu lagi Anindya, adik Runa, akan menggelar akad dan resepsi nikahnya, Runa sangat berharap Raka tidak sampai membatalkan kehadirannya pada pernikahan adiknya itu. Ia tidak ingin keluarganya terutama ibunya, tahu tentang pertengkaran mereka dan khawatir jika melihat Raka tidak hadir pada pernikahan adik iparnya sendiri.

"Iya," jawab Raka singkat.

"Kata Mama, janjian jam 9 pagi di kantor WO-nya, Mas," imbuh Runa.

"Oke." Lagi-lagi Raka menjawab singkat.

Runa menghela nafas. Di satu sisi ia lega karena Raka akan tetap hadir saat fitting seragam (dan semoga juga saat pernikahan Anin), tapi di sisi lain Runa sedih karena Raka hanya menjawabnya singkat-singkat.

"Mas masih marah sama aku?" Meski sudah tahu jawabannya, Runa tetap menebalkan muka, memberanikan diri mendekati suaminya yang tampak dingin. Ia duduk di kasur, di samping suaminya yang masih sibuk dengan ponselnya. Lalu pelan menyentuh lengan suaminya. "Maaf ya Mas."

Lelaki itu tidak menolak sentuhan istrinya, tapi juga tidak merespon. Hanya diam saja, membatu.

"Kamu masih sibuk sama catering dan proyek terjemahan?" Alih-alih menjawab pertanyaan Runa, Raka malah balik bertanya. Suaranya dingin, dan ia bertanya tanpa repot-repot memandang wajah istrinya.

Perih, Runa menarik tangannya dari lengan suaminya. Sepertinya suaminya tidak akan memaafkannya sampai Runa berhenti sibuk dengan cateringnya, dan terutama berhenti dengan dunia tulis menulis supaya tidak berhubungan lagi dengan Ganes.

"Aku nggak bisa Mas. Masih ada tanggung jawab yang harus aku selesaikan," jawab Runa lemah.

Raka menghela nafas, lalu meletakkan ponselnya di nakas. Ia lalu memandang istrinya.

"Uang bulanan yang aku kasih kurang ya Run?" tanya Raka tajam.

Runa menggeleng.

"Jadi kenapa kamu harus sibuk usaha catering dan nerima proyek penerjemahan itu?"

WAKTU YANG SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang