Bab 9 Musuh dari Dalam

150 14 0
                                    

Perhatian!!! tolong lihat bab diatas, jadi silahkan lanjut ke bab 7 terlebih dahulu, terimakasih.

Prabu Blantara membawa Rajendra bertarung memutari gunung, mengigit dan saling menyerang satu sama lain hingga Rajendra terlempar keras mengenai biding gunung.
Rajendra yang terluka parah segera turun dan berubah menjadi manusia.

"Uhuk uhuk, sial" ucapnya sambil memegang dadanya
"Menyerahlah Rajendra!"

Rajendra hanya tertawa mendengar perkataan Prabu Blantara yang tengah berdiri didepannya.

"Hahaha hahaha, aku akui kau selalu menang Blantara hahahaha" tawanya
"Aku akan memaafkanmu Rajendra, asalkan kau bisa berubah"
"Berubah heh...., lebih baik aku mati" ujar rajendra mengambil keris di crigan dengan cepat (wadah keris dipinggang) dan langsung membunuh dirinya sendiri.
"Rajendraaa..." teriak Prabu Blantara, namun sudah terlambat adik tirinya itu sudah membunuh dirinya sendiri dengan keris miliknya.
Sekar yang melihat ayahnya langsung berlari mendatanginya, lantas Sekar terkejut melihat pamannya itu sudah mati menggenaskan dengan gorokan dilehernya, darah yang merembes keluar membuat Sekar memalingkan wajahnya.

Para prajurit Mandalawangi yang tahu kalau mereka telah memenangkan peperangan bersorak-sorai dengan wajah bahagia dan penuh semangat

"Hidup gusti prabu, hidup Mandalawangi, hidup gusti prabu, hidup Mandalawangi....." sorak mereka serempak sambil mengangkat tombak dan senjata mereka keatas.

*******

Di Pendopo....

Prabu Blantara membawa kemenangan Kerajaan Mandalawangi sehingga membuat para adipati, petinggi dan lainnya menjadi sangat bahagia mendengar kabar tersebut, begitu pula dengan wajah sang raja. Namun berbeda dengan Sekar, bukannya juga turut bahagia dia malah menundukkan wajahnya ke bawah seperti memikirkan sesuatu.

"Hahaha bagaimana kalau kita adakan pesta yang sangat meriah gusti prabu?" ucap Adipati Daraseta membuat semua orang di Pendopo itu tersenyum gembira dan mengangguk setuju.

"Betul gusti"
"Betul kanjeng gusti"

Pakkk...

Tatapan mereka langsung tertuju pada Sekar yang menepuk pegangan kursi.
"Maafkan atas kelancanganku ini romo, tapi aku tidak sependapat dengan para adipati" protes Sekar membuat wajah beberapa adipati menjadi kesal.
"Menurutku lebih baik kita tidak mengadakan pesta romo, apalagi disaat orang banyak yang berduka akibat dampak dari perang besar ini" lanjutnya.
"Ehem ehem, kemenangan akan terasa hambar bila tidak ada pesta, benarkan" sela Adipati Wiratama sehingga membuat Sekar menatapnya.
"Benar putri, bagaimanapun juga itu harus dirayakan. Ini bukan saja sebuah kemenangan tapi juga menyangkut keluasan Kerajaan Mandalawangi di bagian Parahyangan, yang masih belum kita kuasai dulu" jelas Adipati Paduraksa membuat Sekar menjadi geram mendengarnya.
"Hatinya sudah dimakan oleh egonya sendiri rupanya" pikir Sekar sambil menatap jengkel kearah para adipati yang tidak setuju akan pendapatnya itu.

"Hamba setuju dengan usul dari gusti putri gusti prabu" bela Adipati Wiguna, sehingga membuat para adipati lainnya berbisik tidak suka.
"Baguslah teryata masih ada juga orang yang peduli disini" gumam Sekar dalam benaknya.
"Hamba rasa apa yang dikatakan oleh gusti putri ada benarnya gusti prabu, tidak seharusnya kita mengadakan pesta besar-besaran ini, apalagi masyarakat kita sedang banyak yang berduka, lebih baik kita mengadakan Ritual Belapati untuk kematian mereka gusti" Terang Adipati Wiguna.

Pendapat yang disampaikan lagi oleh Adipati Wiguna membuat Prabu Blantara berpikir.
"Adipati Wiguna bukankah hal seperti ini sudah biasa bagi kerajaan kita. Apakah dulu kita juga mengadakan ritual untuk mereka saat perang selesai, tentu tidak pernah. Kita berikan saja pada mereka emas dan bilang saja kalau kita sangat menghargai pergorbanan mereka, itupun sudah jadikan" protes Daraseta yang merupakan Adhipati agung/haryapatih di Kerajaan Mandalawangi, sehingga membuat Pendopo menjadi risuh.

Takdir Dewi SekarwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang