Dari sekian banyaknya gunung, Gunung Gede lah salah satu portal gaib atau gerbang utama menuju ke kerajaan gaib Mandalawangi dan gerbang keduanya adalah Gunung Perimbunan, yang dekat dengan pemukiman penduduk yang mengandalkan tanah subur dari bawah pegunungan. Sedangkan gunung yang ada disekitar Mandalawangi hanyalah pagar atau tembok dari batu yang telah di dilindungi oleh mantra gaib dan sebuah Pusaka sakti yang tertanam di dalam tanah.Sebelum Agama Hindu dan Buddha masuk ke tanah Jawa, masyarakat sunda dan Jawa menganut kepercayaan kuno yang bernama ajaran Kapitayan. Kapitayan dapat digambarkan sebagai ajaran yang memuja atau menyembah Taya atau Sang Hyang Taya. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "tan keno kinaya ngapa", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Ajaran Kapitayan justru tidak menyembah benda sebagai kekuatan mutlak, tetapi lebih pada penyembahan Sang Hyang, kekuatan tertinggi. Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan, seperti pohon, batu, dan mata air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan yang maha tinggi Sang Hyang tersebut. Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To.
Bukan saja itu, pada masa Kerajaan Agrabintapura masyarakat setempat dan lainnya menggunakan tempat leluhur atau keramat, gunung dan air terjun (contohnya seperti, Gunung Padang dan Arca Domas) sebagai tempat upacara dan berdoa kepada Sang Hyang Taya, seiring berjalannya waktu tempat itu sekarang mulai sirna dan terlupakan menyisakan batu-batu besar tak jelas tertimbun tanah dan berlumut.
Pada masa Kerajaan Padjajaran yang menganut agama Hindu, Gunung Perimbunan dan Gunung Mandalawangi adalah tempat yang paling sakral kabuyutan Mandala, karena pada zaman dahulu bagi mereka Gunung Mandalawangi adalah Gunung Agung atau induk dari semua gunung di Tatar Pasundan dan induk dari semua gunung di Pulau Jawa, dan dua lainnya adalah Gunung Penanggungan (Pawitra) dan Gunung Dieng (Adi-Hyang), sebagai perwujudan dari Lingga.
*******
Tidak terlalu jauh dari Gunung Gede, sebuah pemandangan indah nan asri, hijau serta sejuk. Dari puncak gunung, disanalah kau juga akan melihat sebuah desa, desa itu bernama Desa Kencana yang berada dibawah gunung. Walaupun hanya dipimpin oleh seorang Kamisepuh atau kepala desa dan merupakan desa kecil, namun banyak orang yang tinggal disana. Rumah-rumah warga yang tradisional dengan dinding serta atap dari anyaman daun kelapa terlihat kokoh walaupun sederhana, tanahnya yang subur membuat buah-buahan dan sayur tetap panen berlimpah walaupun sekarang Desa Kencana sedang dilanda musim kemarau. Air yang surut mengalir jernih jadi tempat bermainnya anak-anak mereka tertawa dan bersuka ria, memancing dan mandi sambil bermain air bersama-sama. Sapi dan kambing terlihat sibuk memakan rumput yang dijaga oleh pengembala, itik-itik bergerombol berjalan entah kemana dengan suara nguikannya, serta juga terdapat induk ayam yang sedang menjaga anaknya.
Hamparan warna keemasan dari padi yang masak siap untuk dipanen membuat warga selalu hidup berkecukupan di Desa Kencana ini. Sehingga membuat warganya hidup makmur, rukun, aman dan sejahtera.
Sedangkan di Kerajaan Langit atau Mandalawangi, duduklah seorang wanita sambil menatapi bunga diatas meja di dalam kamarnya.
"Tampaknya di dunia manusia sedang musim kemarau" gumam Sekar seorang diri.
"Aku penasaran dengan dunia manusia, melihat romo sering bepergian menemui manusia kenapa denganku tidak. Biasanya romo sering pergi lama, kalau begitu aku punya kesempatan melihat dunia manusia" ucap Sekar sambil menganggukkan kepala pelan.
"Tapi, bagaimana kalau romo tahu kalau aku pergi ke tempat manusia, pasti aku akan dimarahi" sanggahnya
"Kurasa tidak, lagi pula aku hanya turun ke bawah sebentar, pasti tidaklah apa-apakan" lanjutnya kemudian pergi sambil membawa selendangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Dewi Sekarwangi
Ficção HistóricaMenceritakan tentang takdir kehidupan dan cinta seorang wanita dari bangsa lelembut tanah Jawa yang hidup selama ribuan tahun yang lalu pada masa Kerajaan tertua di Jawa hingga pada masa Kerajaan Medang Mataram, ia lah saksi dari peradapan nusantara...