Bab 36 Tujuan dan Keinginan Hati

51 9 0
                                    

Bab 36 Tujuan dan Keinginan Hati

Bulan yang memancarkan sinar menerangi tempat penuh kenangan ini, suara deburan ombak memecahkan keheningan disunyinya malam, langkah kaki yang membekas meninggalkan jejak kerinduan. Deru napas yang penuh penyesalan dan ketidakberdayaan dari tatapan seorang kekasih yang berduka duduk dibatu besar itu sembari memandangi lautan yang menurutnya sangat menakutkan.

Cahaya bintang dilihat sudah tak seindah malam-malam sebelumnya, alunan ombak bahkan terdengar tak semerdu seperti biasanya, angin yang berhembus menyentuh kulitnya terasa dingin, kematian orang yang ia cintai membuat Sekar masih bersedih dan merasa kehilangan. Rindu yang teramat sangat bagaikan duri yang menusuk dadanya, kepergian Adiwesa menyisakan luka dalam hidupnya karena selamanya dia tidak akan bisa bertemu dengannya lagi. Ia sadar, sebanyak-banyaknya air mata yang keluar tetap tidak akan membuat waktu terulang dan membuatnya hidup kembali, bagi Sekar kenangan indah kini telah menjadi masa lalu yang menyakitkan untuk diingat.

Melihat bulan purnama, Sekar jadi teringat akan perkataan Adiwesa. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya ke arah bulan seakan ingin menyentuh dan membelainya karena rindu. Hatinya bertanya, pada siapa dia akan bersandar sekarang, pada siapa dia akan bercerita, siapa yang akan membuatnya tersenyum dan tertawa, orang yang ia cintai kini telah tiada didunia ini. Takdir telah menentukan perpisahan mereka dengan akhir yang menyedihkan menyayat hati, membawa bekas dalam kenangan. Cinta dan takdir memang tidak bisa disalahkan, bila yang diatas berkendak maka yang kita lakukan hanyalah pasrah kepada sang pencipta.

Pikirnya mengapa sang pencipta pertemukan mereka yang tak akan mungkin menyatu, Sekar yang terlanjur sangat cinta tak bisa dengan mudah merelakannya. Rasa kehilangan Sekar membuatnya tidak kuat untuk mengatakan selamat jalan, karena masih tersimpan rasa cinta pada kekasihnya walaupun sekarang cuma di hati saja.

Sekar kemudian meletakkan bunga berwarna putih itu diatas batu tanpa henti meneteskan air mata, lalu ia berbalik melihat ke arah gunung yang diterangi cahaya bulan

"Tempat ini, akan selalu kuingat sebagai tempat Tadhansih kita berdua kanda. Aku sangat mencintaimu" ucap Sekar sembari menatap gunung itu sedih.

*******

Besok harinya, saat Sekar melewati pintu pendopo dia melihat Senopati Adikarya membawa seorang manusia bersamanya. Saat mereka berjalan mendekatinya mereka menundukkan kepala memberi hormat kepada Sekar dan pergi menemui Prabu Blantara wangi yang tengah duduk di singgasana.

"Siapa manusia itu, aku bisa merasakan kalau kekuatannya sangatlah besar?" Pikir Sekar penasaran sambil melihatnya bersimpuh di hadapan ayahnya dengan menangkupkan kedua tangan.
"Aku tidak peduli" ucapnya kemudian pergi dari sana menuju lapangan Jagasura.

Kali ini Sekar berlatih bersama dengan Adipati Sigarawongso menggunakan sebuah senjata.

Cring cring cring

Sekar berputar menghindar, Sigarawongso menusuk dan menebas ke samping, dengan cepat Sekar menangkis dengan senjata lalu menyerangnya. Tendangan menebas ke atas, menunduk menghindar dan mengelak ke samping, mereka menyerang satu sama lain dengan Senjatanya.

Sigarawongso yang merasa waktunya bertugas tlah tiba, menghentikan pertarungan dan meminta ijin pamit kepada Sekar.

"Sudah saatnya hamba pergi gusti?"

"Baiklah, Pergilah paman!"

Walaupun Sigarawongso telah pergi, Sekar tetap melanjutkan latihannya seorang diri. Tidak berselang lama dia berlatih, senjatanya seketika terlepas dari tangannya ketika ingatan tentang Adiwesa mendadak terlintas dipikirannya.

Takdir Dewi SekarwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang