Bab 49 Purbasora

32 5 0
                                    

Malam yang diterangi cahaya bulan ditepi Pantai, terdapat seorang pria melarungkan sesajen ke laut kemudian duduk disebuah batu besar yang terletak dipinggiran pantai lalu memejamkan matanya sembari membaca mantra pemanggil sang Ratu lelembut dengan secara Manasa (mantra yang diucapkan dalam batin ketika meditasi).

Entah dari mana muncul seorang wanita dengan pakaian kebesarannya berjalan dengan anggun melewati deburan ombak kecil yang menerpa kakinya menuju ke arah pria itu dengan diiringi oleh dua abdi kinasihnya

"Sekarang kau bisa membuka matamu Prathama?" Perintah seseorang yang berdiri di depannya dengan suara lembut.

Menyadari kedatangan sang ratu, Prathama kemudian memberi hormat lalu menjelaskan maksud dan tujuannya kenapa ia memanggilnya, Sekar hanya menatap wajahnya yang tertunduk

"Aku tahu kedatanganmu sebelum kau menginjakkan kakimu ke pantai ini Prathama, sebagai anak muda aku menghargai perbuatan baik yang tlah engkau lakukan. Tujuanmu sangat mulia, jika itu permintaanmu baiklah aku akan mengabulkannya"

Sekar kemudian mengayunkan tangannya dan muncul sebuah keris ditangannya

"Ambillah (sambil memberikan keris itu pada Prathama). Gunakan pusaka ini sebaik-baiknya, jika kau menyalahgunakan pusaka ini untuk hal-hal yang jahat maka hal yang mengerikan akan segera menimpamu, kau mengerti itu"
"Hamba mengerti kanjeng ratu hamba tidak akan menggunakan pusaka ini demi kesenangan pribadi hamba, melukai orang atau bahkan untuk membalas dendam"
"Aku percaya padamu" ucap Sekar sambil melihat ke tengah dahi pria itu yang memancarkan cahaya kemudian perlahan menghilang.

Setelah mengabulkan permintaan Prathama seorang pendekar dari daerah Ratadheun, Sekar pun kembali ke istananya.

*******

Dunia manusia

Di Cirebon girang ibu kota Kerajaan Indraprahasta, ada seorang pria paruh baya, berwajah tegas sedang menunganggangi seekor kuda dengan terburu-buru. Tiba-tiba saat dia melewati pohon besar, pria paruh baya itu dikejutkan dengan adanya seorang ibu dan anak kecil yang menyebrangi jalan. Dia menarik tali kekang kudanya sekencang mungkin hingga kudanya meringkuk sembari mengangkat kakinya dan hampir membuat orang yang menunganggi kuda itu terjatuh, diwaktu bersamaan sang ibu langsung memeluk anaknya dan melemparkan diri ke padang rumput dipinggir jalan untuk menyelamatkan diri.

"Lihat-lihat dulu sebelum menyebrang jalan" marah pria itu.

Sang ibu kemudian berdiri, tanpa memandang pakaian dan perhiasan yang dikenakan pria itu dia langsung memarahinya balik agar tidak menunganggi kudanya dengan kecepatan tinggi apabila dia sendiri tidak bisa mengendalikannya.
Mendengar ibu itu berceloteh dan menasehatinya bukannya meminta maaf pria paruh baya itu mengarahkan senjatanya ke wajah ibu-ibu itu.

"Beraninya kau memarahiku, kaulah yang salah karena menghalangi jalanku dan membuatku terlambat. Pergi dari sini atau kau akan ku bunuh" ancam pria itu, sehingga membuat ibu-ibu itu ketakutan dan segera membawa anaknya yang kesakitan pergi dari sana secepatnya.

Pikirnya bingung padahal sudah berpuluh-puluh tahun dia tinggal ditempat itu tapi kenapa masih ada saja masyarakat yang tidak mengenali wajahnya, padahal dia adalah seorang pangeran dan sekaligus penjabat Kerajaan Indraprahasta.

"Seandainya dia tahu siapa aku, pasti dia akan segera meminta maaf dan bersujud di kakiku, dasar miskin" geram Pria itu yang tak lain dan tak bukan bernama Purbasora.

Di Pendopo Kerajaan Indraprahasta, para penjabat istana mulai mengadakan rapat bersama sang Prabu Padma Hariwangsa membahas tentang masalah Desa Campaka di aliran Sungai Cigugur, pajak (Shima) dan kebun kapolaga milik kerajaan yang gagal panen. Selama rapat itu berlangsung, Purbasora melamun memikirkan kejadian tadi pagi yang membuatnya kesal mengingatnya, lalu dia memandang ke arah Prabu Padma Hariwangsa yang merupakan mertuanya itu. Dia berpikir betapa senangnya menjadi seorang raja yang dihormati, terkenal, dijunjung tinggi, pikirnya memerintah dan melakukan pekerjaan menjadi seorang raja adalah hal yang mudah karena banyak yang melakukan pekerjaan dan tugasnya itu adalah bawahannya dan yang di perlukan hanyalah kepintaran dan bisa memutar uang, karena tanpa uang semua tidak akan berjalan dengan baik.

Takdir Dewi SekarwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang