Bab 47 Siluman Ular Hijau (Buto ijo)

27 5 0
                                    

Di sebuah hutan yang lebat, hari yang mendung dan angin yang bertiup kencang menggerakkan dedaunan dan dahan yang layu menjadi jatuh dan beterbangan. Disana terdapat sebuah gua yang menjadi tempat Samedi sang kakek yang pernah memberikan keris kepada Sekar. Di dalam samedinya, beliau merapalkan sebuah mantra didalam hati, tiba-tiba salah satu daun terbang masuk ke dalam gua dan jatuh pas ditelapak tangan beliau. Seketika beliau berhenti merapal dan membuka matanya dengan perlahan, beliau terdiam lama dengan wajah murung lalu bergumam

"Semua yang hidup pasti akan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain baik itu kematian, pengalaman yang sama atau dalam arti yang lain, langit telah berkehendak, seekor singa tidak ditakdirkan jadi raja akan menjadi raja, kuharap harimau bisa mengendalikan taring dan cakarnya"

*******

Hari demi hari Pu Diswangga dan guru Balayudha melihat perkembangan Sanjaya dan Wiratara yang sama-sama unggul dari 10 murid lainnya, baik dalam hal ilmu pelajaran, memanah, beladiri dan penguasaan ilmu Kanuragan yang mereka ajarkan. Selama beberapa bulan terakhir, Pu Diswangga yang melihat perubahan sikap Wiratara awalnya hanya diam karena dia yakin kalau Wiratara bisa berubah dan membuang jauh-jauh sifat buruknya itu, namun teryata tidak. Pintar dan tambah saktinya Wiratara semakin membuatnya sombong dan nasehat yang ia katakan hanya dianggap angin lalu oleh Wiratara. Pu Diswangga merasa kecewa pada murid kebanggaannya itu, sepintar-pintarnya dia menutupinya tetap saja sang guru bisa mengetahuinya.

Menjelang malam, Pu Diswangga tengah berbicara dengan Sura Balayudha tentang niatnya, kalau dia akan pergi meninggalkan Perguruan Gutanirwana selama tujuh hari tujuh malam untuk melakukan semedi. Ia pun memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepemimpinan sementara pada teman baiknya itu.

"Haruskah kau pergi sekarang Diswangga?"
"Aku sudah merencanakan ini sejak lama, aku tidak bisa menunda dan membatalkan niatku ini"
"Hmm aku mengerti"
"Ingatlah saat aku pergi jangan pernah menyuruh Wiratara ataupun Sanjaya salah satu dari mereka untuk mengajarkan para murid"
"Memangnya apa yang terjadi Diswangga?
"Setelah Wiratara kembali, kau menyadari adanya perubahan pada dirinya begitu pula aku, (menghela nafas) sikap sombong dan irinya bisa dibaca melalui matanya. Aku takut jika sesuatu yang sangat buruk akan terjadi" Terang Pu Diswangga sehingga membuat temannya itu mengangguk paham akan maksud temannya itu.

"Selain dirimu siapa lagi yang bisa kupercayakan" lanjut Pu Diswangga.

Besok harinya....

Pu Diswangga mengumpulkan muridnya untuk mengumumkan kepada mereka semua tentang kepergiannya, lalu dia menjelaskan kepada mereka kalau Perguruan Gutanirwana akan diambil alih bina oleh Sura Balayudha untuk sementara waktu menggantikan dirinya.


Terlihat tatapan Wiratara memang biasa-biasa saja namun dihatinya ia merasa senang dengan kepergian Pu Diswangga, menurutnya ia akan lebih mudah mencari muka dan mengambil hati Sura Baladyuda yang berwatak dingin dari pada Pu Diswangga yang berwatak keras, tentulah yang hebat seperti dirinya dapat diandalkan dan dipercaya dari pada si Sanjaya yang lemah dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.

Di saat itu juga, semua murid mengantar kepergian sang guru sampai ke depan pagar perguruan yang terbuat dari susunan batu bata, setelah Pu Diswangga berpesan kepada mereka semua dia pun memacu kudanya pergi.

Setelah kepergian sang guru, seperti biasa perguruan berjalan baik dan lancar dibawah binaan dari Guru Candra Sura Balayudha atau dikenal dengan Guru Balayudha. Sebenarnya Sura Balayudha dulunya adalah seorang bhiksu (pendeta buddha) dan guru di Gumpung (sekarang candi Muara Jambi) yang beragama Buddha Mahayana, beliau adalah guru dari Raja Patra Bhalendra, beliau juga merupakan sosok yang dihormati di Keluarga Sailendra, Kampung Upit dan terutama Kerajaan Kalingga. Beliau adalah utusan dari Kerajaan Sriwijaya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, kitab, sastra serta Agama Buddha dan lain-lain di bhumi Kalingga (Jawa) khususnya di Gutanirwana tempat pendidikan yang penuh toleransi Hindu-Buddha bersama Pu Diswangga dan Pu Janabadra, namun sayangnya Pu Janabadra sudah meninggal dunia.

Takdir Dewi SekarwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang